Hujan di Musim Kemarau Sampai Kapan? Ini Prediksi BMKG dan BRIN

4 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Sebagian wilayah Indonesia masih rutin diguyur hujan selama musim kemarau 2025. Sampai kapan fenomena ini terjadi?

Secara kalender klimatologis, seharusnya bulan Agustus ini sebagian besar wilayah Indonesia sudah memasuki fase puncak musim kemarau. Namun demikian, kenyataannya, hujan masih rutin mengguyur sejumlah wilayah.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat tiga hari pertama di bulan Agustus, hujan lebat hingga esktrem terjadi di Maluku (205.3 mm/hari), Kalimantan Barat (89.5 mm/hari), Jawa Tengah (83 mm/hari), dan Jabodetabek (121.8 mm/hari).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, mengungkap bahwa hujan di musim kemarau ini masih dalam batas normal secara klimatologis, dan dikenal sebagai kemarau basah.

Kemarau basah adalah kondisi ketika hujan masih turun secara berkala pada musim kemarau atau musim kemarau yang bersifat di atas normal. Musim kemarau di Indonesia identik dengan cuaca panas dan minim hujan, tapi dalam fenomena ini, intensitas hujan masih tergolong tinggi meski frekuensi menurun.

Lalu, sampai kapan fenomena kemarau basah terjadi di Indonesia?

"Seperti yang disampaikan oleh BMKG, kondisi ini menyambung sampai musim hujan kembali," kata Guswanto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (6/8).

Guswanto mengungkap hujan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah Indian Ocean Dipole (IOD), atau fenomena iklim yang terjadi di Samudra Hindia, berada pada level negatif (-0,6) dan suhu laut yang hangat menyebabkan suplai uap air meningkat.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa hujan yang turun selama musim kemarau ini tidak dipengaruhi fenomena La Nina.

Hujan yang terjadi di sejumlah wilayah pada awal Agustus ini juga disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor atmosfer. Pertama, gelombang Madden-Julian Oscillation (MJO) yang aktif di wilayah Sumatera hingga Jawa bagian barat dan meningkatkan potensi pembentukan awan hujan.

Kemudian, BMKG juga memantau pergerakan Bibit Siklon Tropis 90S di Samudra Hindia barat daya Bengkulu memicu konvergensi angin di sepanjang Pulau Jawa, memperkuat pertumbuhan awan hujan. Selain itu, suhu muka laut (SST) yang hangat di perairan Indonesia meningkatkan kandungan uap air di atmosfer.

Terakhir, gelombang atmosfer lain seperti Kelvin, Rossby Ekuator, dan Low-Frequency juga sedang aktif dan memperkuat proses konvektif.

Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati juga menyebut hasil prediksi curah hujan bulanan menunjukkan anomali curah hujan yang sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung, dengan kondisi curah hujan di atas normal terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025.

"Melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau turut menyebabkan suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan hal ini berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan tersebut," kata Dwikorita dalam konferensi pers daring awal Juli lalu.

Kemudian, gelombang Kelvin aktif yang terpantau melintas di pesisir utara Jawa, disertai perlambatan dan belokan angin di Jawa bagian barat dan selatan turut memicu penumpukan massa udara.

Selain itu, konvergensi angin dan labilitas atmosfer lokal juga terpantau kuat sehingga mempercepat pertumbuhan awan hujan.

Berdasarkan iklim global, BMKG dan beberapa pusat iklim dunia memprediksi ENSO (suhu muka air laut di Samudra Pasifik) dan IOD (suhu muka air laut di Samudra Hindia) akan tetap berada di fase netral pada semester kedua tahun 2025.

Sementara itu, pakar Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin pada Juli lalu juga memprediksi curah hujan akan terus tinggi hingga Agustus. Menurutnya, curah hujan pada Agustus bahkan akan lebih tinggi dari Juli.

"Nanti Agustus itu 2 kali lipat hujan yang sekarang. Terjadi di dasarian ketiga. Dasarian ketiga itu berarti tanggal 21 sampai akhir Agustus," katanya dalam sebuah unggahan di media sosial X, Senin (7/7).

Menurutnya, cuaca buruk pada periode Agustus kemungkinan sifatnya lebih merata. Ia mengatakan vorteks akan lebih dekat dengan wilayah Indonesia dan menimbulkan peningkatan intensitas dua kali lipat dibandingkan saat ini.

"Oleh karena itu pemerintah agar bersiap dan memitigasi banjir meluas di Jabodetabek, yang berpotensi menimbulkan kerugian Rp2-10 triliun jika terjadi banjir selama seminggu. Masyarakat agar waspada, terutama yang tinggal di sekitar DAS," tuturnya.

(dmi/dmi)

Read Entire Article
Entertainment |