Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) bersama PT Kereta Api Indonesia (KAI) resmi menyepakati pengoperasian Kereta (KA) Kilat Pajajaran, layanan baru yang menargetkan waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya 1,5 jam.
KA Kilat Pajajaran akan menjadi moda transportasi tercepat kedua setelah Whoosh yang memakan wakitu sekitar 46 menit untuk rute yang sama.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi alias KDM mengatakan kesepakatan ini tertuang dalam kerja sama optimalisasi perkeretaapian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kereta Kilat Pajajaran akan memangkas waktu tempuh relatif sangat cepat, Gambir-Bandung menjadi sekitar satu setengah jam. Bahkan layanan ini direncanakan terhubung hingga Garut, Tasikmalaya, dan Banjar dengan waktu tempuh sekitar dua jam melalui Bandung," ujar Dedi dalam keterangan di Bandung, Rabu (26/11).
Layanan ini diharapkan menjadi solusi percepatan mobilitas warga di jalur konvensional dibandingkan kereta api reguler Jakarta-Bandung yang saat ini waktu tempuhnya 2,5 hingga 3 jam.
Proyek ini diperkirakan membutuhkan investasi sebesar Rp8 triliun. KDM mengatakan Pemprov Jabar telah menyusun rencana pembiayaan yang akan disalurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jabar senilai Rp2 triliun per tahun, dimulai dari tahun 2027 sampai 2030.
Artinya, waktu pengerjaan proyek ini diprediksi akan dilakukan selama 4 tahun.
KDM menambahkan KA Kilat Pajajaran rencananya juga akan menghubungkan sampai Kota Banjar melalui Garut dan Tasikmalaya yang ditargetkan membutuhkan waktu tempuh selama hanya tiga jam.
Namun, kabupaten/kota yang ingin disinggahi oleh kereta Kilat Pajajaran harus mau ikut berinvestasi terhadap pembangunan kereta tersebut.
"Kabupaten yang tidak ikut investasi dalam pembangunan jalur kereta nyaman Kilat Pajajaran tidak berhenti di situ keretanya. Lewat. Sampai Bandung saja cukup," tegas KDM.
Lantas, perlukah KDM dan KAI meluncurkan Kereta Kereta Kilat Pajajaran yang butuh investasi jumbo Rp8 triliun?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan investasi Rp8 triliun untuk KA Kilat Pajajaran boleh jadi masuk akal jika dasar perencanaannya benar.
Artinya, ada kajian permintaan yang solid, estimasi biaya operasi dan pemeliharaan yang realistis, serta model tarif dan frekuensi layanan yang kompetitif dibanding moda lain.
"Tanpa data publik yang transparan, sulit memastikan bahwa angka sebesar itu dapat 'kembali' alias balik modal melalui pendapatan penumpang, sehingga tidak menjadi beban fiskal atau ditanggung subsidi secara permanen," katanya pada CNNIndonesia.com, Kamis (27/11).
Di sisi lain, Ronny mengkhawatirkan risiko "kanibalisme" dengan Whoosh, apalagi proyek kereta cepat tersebut tengah menghadapi tantangan finansial serius dengan beban utang besar dan tingkat utilisasi yang belum stabil.
Jika Kilat Pajajaran melayani ikoridor atau segmen yang sama, sambungnya, sebagian penumpang Whoosh dapat berpindah ke layanan yang lebih murah atau lebih fleksibel. Kondisi itu akan memperburuk tekanan keuangan Whoosh.
Ronny mengatakan untuk menghindari kasus itu, maka harus ada segmentasi layanan yang jelas dan koordinasi tarif maupun jadwal antara KA Kilat Pajajaran dan Whoosh.
"Tanpa regulasi terpadu, kompetisi internal justru bisa menggerus margin dan memperbesar risiko kegagalan komersial kedua pihak," kata Ronny.
Ia menambahkan KA Kilat Pajajaran sebenarnya bisa memperkuat konektivitas, menyediakan alternatif transportasi massal yang cepat dan nyaman, serta membantu menurunkan beban lalu lintas dan kemacetan di tol. Namun, berisiko duplikasi dan fragmentasi pasar di tengah banyaknya moda transportasi ke Bandung.
Artinya, jika moda terlalu banyak dan saling menggerus, ujungnya tidak ada yang mencapai skala ekonomi (economics of scale).
"Walhasil semuanya justru kelabakan secara finansial. Jika permintaan nyata tidak sebesar ekspektasi, investasi besar bisa tidak optimal dan manfaat sosial-ekonominya akhirnya menjadi terbatas," katanya.
Menurut Ronny, moda transportasi ini bisa revolusioner bila dirancang dengan kolaborasi pembiayaan yang cerdas melalui kemitraan publik-swasta-daerah, sehingga ada pembagian risiko yang adil.
Namun, jika daerah harus mengeluarkan dana APBD dengan nilai signifikan, tanpa jaminan manfaat ekonomi yang terukur, justru bisa menjadi beban fiskal dan mengorbankan prioritas publik lain seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar.
"Karena itu, jika memang harus menggunakan APBD, transparansi struktur pendanaan dan analisis risiko fiskal wajib dipublikasikan sebelum meminta komitmen APBD," kata Ronny.































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5246935/original/037886700_1749495798-063_2211629707.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5354665/original/013548500_1758261702-IMG-20250919-WA0005.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5273468/original/039341400_1751624719-ClipDown.com_510960588_17904224745194387_1578158069668546407_n.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5354825/original/018518100_1758265848-pongki_barata_csm_3.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5326205/original/048148200_1756092105-IMG-20250825-WA0011.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5303701/original/026205700_1754120479-Foto_7._Rosie_Pop-Up_Jakarta_-_Gandaria_City_Mall.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5316299/original/029464000_1755231410-OFFICIAL_POSTER_-_FEED.jpg)