Kemenhut Ungkap Asal Ribuan Kayu Gelondongan di Banjir Sumatra

1 hour ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) membeberkan asal muasal ribuan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang hingga longsor di wilayah Sumatra akhir November lalu.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut Dwi Januanto Nugroho mengatakan kayu-kayu tersebut bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk pembalakan liar atau illegal logging.

Beberapa di antaranya diduga dari pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal, hingga penyalahgunaan Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), dan illegal logging.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, Dwi menyebut pihaknya masih menelusuri lebih lanjut soal asal muasal kayu gelondongan itu. Kata dia, pihaknya bakal menelusuri secara profesional setiap indikasi pelanggaran dan memproses bukti kejahatan kehutanan melalui mekanisme hukum yang berlaku.

"Terkait pemberitaan yang berkembang, saya perlu menegaskan bahwa penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir, melainkan untuk memperjelas sumber-sumber kayu yang sedang kami telusuri dan memastikan setiap unsur illegal logging tetap diproses sesuai ketentuan," kata Dwi dalam pernyataan dikonfirmasi dari Jakarta, Minggu (30/11).

Dwi menerangkan sepanjang tahu 2025, Gakkum Kemenhut sudah menangani sejumlah kasus terkait pencucian kayu ilegal di sekitar wilayah terdampak banjir di Sumatera.

Salah satunya di Aceh Tengah pada Juni 2025 saat penyidik mengungkap penebangan pohon secara tidak sah di luar areal PHAT dan kawasan hutan oleh pemilik PHAT dengan barang bukti sekitar 86,60 meter kubik kayu ilegal.

Kemudian di Solok, Sumatera Barat pada Agustus 2025 berhasil diungkap kegiatan penebangan pohon di kawasan hutan di luar PHAT yang diangkut menggunakan dokumen PHAT dengan barang bukti 152 batang kayu/log, 2 unit ekskavator, dan 1 unit bulldozer.

Lalu Kepulauan Mentawai dan Gresik pada Oktober 2025, Ditjen Gakkumhut dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menyita 4.610,16 meter kubik kayu bulat asal Hutan Sipora yang pengeluarannya turut melibatkan dokumen PHAT bermasalah.

Sementara di Sipirok, Tapanuli Selatan pada Oktober 2025, diamankan 4 unit truk bermuatan kayu bulat sebanyak 44,25 meter kubik dengan dokumen kayu yang bersumber dari PHAT yang telah dibekukan.

"Kejahatan kehutanan tidak lagi bekerja secara sederhana. Kayu dari kawasan hutan bisa diseret masuk ke skema legal dengan memanfaatkan dokumen PHAT yang dipalsukan, digandakan, atau dipinjam namanya. Karena itu, kami tidak hanya menindak penebangan liar di lapangan, tetapi juga menelusuri dokumen, alur barang, dan alur dana di belakangnya," tutur Dwi.

Sebelumnya, sebuah video memperlihatkan tumpukan ribuan potongan kayu memenuhi Pantai Parkit di Kota Padang, Sumatra Barat setelah banjir bandang terjadi di wilayah tersebut.

Dalam video yang diunggah akun Instagram @antaranewscom, terlihat tumpukan kayu itu memenuhi area muara dan bibir Pantai Parkit pada Jumat (28/11).

Masih dalam video itu, terlihat air pantai tampak berwarna kecoklatan. Selain tumpukan kayu, berbagai sampah juga terlihat menumpuk di lokasi.

"Pada Jumat (28/11), area muara dan bibir Pantai Parkit tertutup ribuan potongan kayu serta sampah hanyut lainnya. Kondisi ini mengganggu akses nelayan dan mengubah tampilan pantai secara signifikan," demikian keterangan dalam unggahan itu.

Dugaan deforestasi masif

Terpisah, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM) Hatma Suryatmojo menduga ada dosa ekologis atau deforestasi masif di balik banjir bandang hingga longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Menurut Hatma, bencana banjir bandang akhir 2025 ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.

Dia mengatakan para ahli bisa dikatakan sepaham menilai fenomena banjir bandang dan longsor di Tanah Andalah itu sebagai bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir akibat kombinasi faktor alam dan ulah manusia.

Menurut Hatma curah hujan memang sangat tinggi hingga bisa memicu bencana. Katanya, BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari pada puncak kejadian.

Curah hujan ekstrem ini dipicu oleh dinamika atmosfer luar biasa, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar terbentuk di Selat Malaka pada pengujung November 2025.

"Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu. Kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pangkal untuk meredam curah hujan tinggi," kata Hatma dalam keterangan yang dibagikan UGM, Senin (1/12).

Catatan perkembangan deforestasi

Hatma menyatakan deforestasi masif telah berlangsung di banyak kawasan hulu Sumatra.

Di Aceh, lanjutnya, hingga tahun 2020 sekitar 59 persen wilayah provinsi ini atau ±3,37 juta hektare masih berupa hutan alam. Akan tetapi, data kompilasi BPS setempat dan lembaga lingkungan menunjukkan Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan dalam kurun 1990-2020.

Walaupun tutupan hutan Aceh relatif masih luas, bagaimanapun menurut Hatma, laju kehilangan hutannya signifikan sehingga meningkatkan kerentanan terhadap banjir.

Sumut juga tak kalah memprihatinkan. Hatma memaparkan, tutupan hutan provinsi ini tinggal sekitar 29 persen luas daratan atau ±2,1 juta hektare pada tahun 2020.

Raibnya tutupan hutan artinya hilang pula fungsi hutan sebagai pengendali daur air kawasan melalui proses hidrologis intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi. Demikian pula kemampuan mengendalikan erosi dan limpasan permukaan yang akhirnya memicu erosi masif serta longsor sebagai cikal bakal munculnya banjir bandang.

Hutan tersisa milik Sumut pun tersebar fragmentasi di pegunungan Bukit Barisan bagian barat, termasuk sebagian Taman Nasional Gunung Leuser dan enclave konservasi seperti di wilayah Tapanuli.

[Gambas:Video CNN]

Ekosistem Batang Toru di Tapanuli yang kata Hatma jadi benteng terakhir hutan Sumut, kini juga terdesak oleh aktivitas industri. Kawasan ini terdegradasi akibat maraknya konsesi dan aktivitas perusahaan, mulai dari penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas.

Terfragmentasi dan tertekan, hutan pun kehilangan sebagian besar fungsi ekologisnya sebagai pengendali hujan dan penahan banjir.

"Hutan-hutan lindung di ekosistem Batang Toru yang semestinya menjadi area tangkapan air banyak dikonversi menjadi perkebunan, atau dibabat pembalak liar. Akibatnya, saat hujan lebat, air yang melimpah tak bisa lagi tertahan secara alami di hulu dan langsung menghantam permukiman di hilir," ungkap Hatma.

Laju deforestasi yang tinggi tercermin di Sumbar. Hatma mengatakan Provinsi ini pada 2020 tercatat memiliki proporsi hutan sekitar 54 persen dari luas wilayah ±2,3 juta hektare.

Walhi setempat mencatat selama 2001-2024, provinsi ini kehilangan sekitar 320 ribu hektare hutan primer dan total 740 ribu hektare tutupan pohon yang mencakup hutan primer dan sekunder.

Hatma menambahkan, pada tahun 2024 saja deforestasi di Sumbar bahkan mencapai 32 ribu hektare. Sisa hutan di sana pun banyak berada area lereng curam Bukit Barisan, sehingga ketika berkurang maka risiko tanah longsor dan banjir bandang naik.

(dis/kum/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |