Koalisi Kritik Fadli Zon: Kekerasan Seksual Mei '98 Bukan Rumor Belaka

14 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 pihak baik organisasi maupun individu mengkritik keras Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut perkosaan massal saat kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.

"Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998," ujar koalisi dikutip dari laman KontraS, Minggu (15/6).

Menurut koalisi, Fadli yang memimpin proyek penulisan ulang sejarah tampak ingin menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran HAM berat dari ruang publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan Fadli, kata koalisi, mencerminkan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban.

"Ia (Fadli) telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada kecenderungan untuk secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa," ucap koalisi.

Koalisi menilai pernyataan Fadli tersebut juga mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden BJ. Habibie dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan pendokumentasian dan penyelidikan atas peristiwa Mei 1998, dengan kekerasan seksual sebagai bagian dari peristiwa tersebut.

Koalisi menyinggung laporan akhir TGPF yang mencatat tindak kekerasan seksual terjadi di Jakarta dan sekitarnya, lalu Medan dan Surabaya.

Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam Peristiwa Mei 1998 dibagi dalam beberapa kategori yaitu: perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual yang terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha.

"Terdapat 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual yang diperoleh dari sejumlah bukti baik keterangan korban, keluarga korban, saksi mata, saksi lainnya (perawat, psikiater, psikolog, pendamping, rohaniawan), hingga keterangan dokter," ungkap koalisi membeberkan temuan TGPF.

Selain itu, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah Peristiwa Mei 1998. Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF juga mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual pada peristiwa tanggal 4-8 Mei 1998.

Senada, fakta hukum hasil penyelidikan Komnas HAM juga menggambarkan rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Mulai dari penganiayaan, penyiksaan, pelecehan dan kekerasan seksual, penghilangan orang secara paksa, hingga pembunuhan.

"Setelah Peristiwa Mei tersebut, juga diikuti dengan 2 kasus terjadi di Jakarta tanggal 2 Juli 1998 dan 2 kasus terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli 1998," terang koalisi.

Meskipun temuan tersebut telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk proses hukum lebih lanjut, hingga kini tidak ada penyelesaian yang memadai di tingkat penyidikan hingga proses pengadilan.

Menjadi memilukan karena tidak pernah ada pengungkapan kebenaran, kepastian bahkan keadilan baik dalam peristiwa ini maupun terhadap korban dan keluarga korban Peristiwa Mei 1998 yang sudah berpuluh tahun memperjuangkan haknya.

Koalisi memandang hal tersebut tidak hanya melanggar hak setiap warga negara untuk hidup aman dan bermartabat, tetapi juga menciptakan trauma berkepanjangan serta iklim ketakutan yang mendalam di masyarakat.

"Pernyataan Fadli Zon yang menegasikan kekerasan seksual Mei 1998 berarti menghapus sejarah berdirinya Komnas Perempuan yang dibentuk melalui Keppres No. 181/1998 sebagai respons atas tragedi tersebut," ucap koalisi.

Koalisi menjelaskan Komnas Perempuan adalah anak kandung reformasi. Penyangkalan yang disampaikan Fadli dinilai sama saja dengan mengingkari semangat reformasi.

Bahkan, tutur koalisi, memori kolektif atas tragedi dimaksud telah diabadikan lewat Memorial Mei 1998 di Pondok Ranggon yang diresmikan pada tahun 2015 oleh Komnas Perempuan dan Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tjahaja Purnama.

"Menghapus fakta sejarah ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap korban dan perjuangan mereka," tegas koalisi.

Koalisi berpendapat pernyataan Fadli mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi.

Tindakan ini pun disebut merupakan kemunduran negara dalam menjamin perlindungan kepada perempuan dan justru semakin memperkuat citra maskulinitas negara.

"Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menuntut Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya secara terbuka, memberikan klarifikasi, dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, khususnya kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 dan seluruh perempuan Indonesia yang berjuang membersamai korban untuk menegakkan keadilan," ungkap koalisi.

Koalisi juga menuntut agar proyek penulisan ulang sejarah yang dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan untuk segera dihentikan.

(rhs/sfr)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |