Jakarta, CNN Indonesia --
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi telah mengumumkan bahwa Israel melakukan genosida terhadap warga Gaza.
Hal tersebut disampaikan oleh Komisi Penyelidikan Internasional Independen untuk Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan Israel. Komisi ini merilis laporan mengenai temuannya pada Selasa (16/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua komisi tersebut, Navi Pillay, dalam konferensi pers di Jenewa mengatakan, "Genosida yang sedang berlangsung di Gaza merupakan kekejaman moral dan darurat hukum. Negara-negara anggota harus bertindak sekarang."
Ia menambahkan, "Tidak perlu menunggu Mahkamah Internasional menyatakannya sebagai genosida."
Laporan ini mencakup periode dari awal konflik Israel-Hamas pada 7 Oktober 2023 hingga 31 Juli 2025. Komisi tersebut mengatakan analisisnya didasarkan pada "penetapan genosida" berdasarkan Konvensi Genosida tahun 1948.
Korban tewas di Gaza akibat kebengisan Israel tembus lebih dari 65 ribu jiwa. Sedikitnya 65.062 orang tewas dan 165.697 orang terluka akibat serangan di Gaza setelah hampir dua tahun digempur Zionis.
Selain Israel, sejumlah negara di dunia juga pernah dinyatakan melakukan tindakan genosida dengan korban nyawa ratusan ribu hingga jutaan.
Muslim Bosnia
Muslim Bosnia juga pernah mengalami kekejaman di luar batas kemanusiaan oleh penguasa Serbia pada 1992-1995 pasca Yugoslavia pecah.
Dikutip dari situs irmct.org, puluhan ribu Muslim Bosnia dibantai setelah mencoba melarikan diri dari serangan pasukan Serbia Bosnia di kota dan desa mereka, mencari perlindungan di Srebrenica. Selama tiga tahun, pasukan Serbia Bosnia mengepung daerah kantong tersebut dan sering kali menembakinya.
Mereka menguasai jalan akses dan menghambat bantuan kemanusiaan internasional seperti makanan dan obat-obatan. Kota Srebrenica dipenuhi pengungsi.
Orang-orang berkemah di tangga dan koridor gedung apartemen, di dalam mobil, dan di gedung-gedung publik seperti sekolah dan pusat olahraga. Sebagian besar yang mengungsi ke Srebrenica hanya memiliki sedikit makanan sejak meninggalkan desa mereka, dan satu-satunya sumber air, sungai, sangat tercemar oleh jeroan, kotoran, dan minyak.
Menanggapi situasi kemanusiaan yang memburuk dengan cepat, pada bulan April 1993 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Resolusi 819 yang menyatakan Srebrenica sebagai 'daerah aman'.
Beberapa hari kemudian, sebuah perjanjian ditandatangani yang menyerukan gencatan senjata total di Srebrenica, demiliterisasi enklave tersebut, pengerahan pasukan UNPROFOR (Pasukan Perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa) ke Srebrenica, dan pembukaan koridor antara Tuzla dan Srebrenica untuk evakuasi korban luka berat dan sakit.
Namun pada Maret 1995, Radovan Karadžić, Presiden dan Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republika Srpska, entitas yang memproklamirkan diri, menginstruksikan pasukan Serbia Bosnia untuk membasmi penduduk Muslim dari enklave Srebrenica dan Žepa.
Genosida Suku Tutsi
Selama sekitar 100 hari, dimulai pada 7 April 1994, suku Tusti di Rwanda mengalami kekejaman oleh milisi bersenjata Hutu yang didukung oleh pemerintah. Peristiwa ini terjadi dalam perang suku yang disebut menyebabkan kematian hingga 1 juta orang.
Sekjen PBB António Guterres yang bergabung dengan para penyintas, diplomat, dan anggota masyarakat sipil dalam upacara tahunan di Aula Majelis Umum PBB untuk berduka atas nyawa yang hilang dalam "babak mengerikan dalam sejarah manusia".
Ia mengingat bahwa genosida terjadi dengan kecepatan yang mengerikan. Kegagalan kolektif untuk bertindak
"Ini bukan aksi kekerasan mengerikan yang spontan," katanya.
"Itu disengaja. Itu direncanakan. Itu direncanakan, termasuk melalui ujaran kebencian yang mengobarkan perpecahan, menyebarkan kebohongan, dan dehumanisasi. Dan itu adalah hasil dari kegagalan kolektif untuk bertindak," ia menambahkan.
Presiden Majelis Umum PBB, Philémon Yang, juga mengecam ketidakpedulian masyarakat internasional.
Bersambung ke halaman berikutnya...