Ombudsman Ungkap 8 Masalah MBG, Khawatir Picu Amarah Rakyat

2 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Ombudsman RI menemukan delapan masalah utama dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berpotensi memicu amarah rakyat.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan temuan tersebut berpotensi menimbulkan empat bentuk maladministrasi yang bisa menggerus kepercayaan publik terhadap program andalan Presiden Prabowo Subianto ini.

"Dari hasil kajian Ombudsman, kesimpulannya terdapat delapan masalah utama dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis," ujar Yuka dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (30/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menyebut masalah pertama kesenjangan lebar antara target dan realisasi capaian. Kedua, maraknya kasus keracunan massal di berbagai daerah. Ketiga, penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan serta rawan konflik kepentingan.

Keempat, keterbatasan dan penataan sumber daya manusia, termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan. Kelima, ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas.

Keenam, penerapan standar pengolahan makanan yang belum konsisten. Ketujuh, distribusi makanan yang belum tertib dan masih membebani guru. Kedelapan, sistem pengawasan yang belum terintegrasi, masih bersifat reaktif, dan belum sepenuhnya berbasis data.

Menurut Yeka, delapan persoalan tersebut menimbulkan risiko turunnya kepercayaan publik, bahkan memicu kekecewaan dan kemarahan masyarakat.

"Ombudsman sangat tidak mengharapkan program MBG dijadikan kanal yang membangkitkan kemarahan masyarakat yang berpotensi ditumpangi kepentingan politik tertentu. Ini yang harus diwaspadai di kemudian hari," ujarnya.

Merujuk pada delapan masalah itu, Ombudsman RI mengidentifikasi empat potensi maladministrasi dalam program MBG.

"Pertama, adanya penundaan berlarut. Yang kedua adanya diskriminasi. Yang ketiga adanya ketidakmampuan atau lemahnya kompetensi dalam penerapan SOP. Yang keempat adanya penyimpangan prosedur," jelas Yeka.

Keempatnya, menurut dia, bukan hanya menggambarkan kelemahan tata kelola, tetapi juga menjadi pengingat prinsip pelayanan publik, yakni kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik harus ditegakkan konsisten.

Yeka juga mengingatkan faktor eksternal yang tidak bisa diabaikan, yakni potensi intervensi politik. Keterkaitan sejumlah yayasan dengan jejaring kekuasaan, kata dia, dapat menggeser orientasi program dari fokus utama pada perbaikan gizi menuju kepentingan yang lebih sempit.

Jika tidak diantisipasi sejak dini melalui regulasi yang jelas, mekanisme seleksi yang transparan, serta pengawasan independen, kondisi ini dapat melahirkan maladministrasi struktural.

MBG harus disetop?

Kendati, Ombudsman menilai program MBG tidak perlu dihentikan sepenuhnya. Yeka menilai tidak adil jika sekolah atau penyelenggara dengan rekam jejak baik turut ditutup hanya karena adanya kasus lokal.

"Jangan dianggap semuanya sama. Setiap kasus keracunan itu harus diinvestigasi dan dikelola, bukan serta-merta menghentikan programnya," ujarnya.

Untuk mencegah maladministrasi, Ombudsman merumuskan tiga saran utama. Pertama, aspek penetapan penerima bantuan yayasan dan SPPG perlu diperkuat dengan regulasi yang jelas, verifikasi berbasis data, hingga larangan pungutan tidak resmi.

Kedua, aspek penyelenggaraan SPPG harus diperbaiki lewat tujuh langkah konkret, mulai dari pengendalian mutu bahan baku, SOP pengelolaan, distribusi yang konsisten, hingga keterlibatan penuh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan.

Ketiga, aspek pengawasan MBG mesti diperkuat melalui sistem koordinasi yang lebih efektif, evaluasi berkelanjutan, serta partisipasi publik dengan pemanfaatan dashboard digital.

"Semua perbaikan ini harus dilakukan dengan semangat reformasi tata kelola. Tugas pemerintah bukan memperkaya segelintir orang, tapi menjamin kesejahteraan seluruh rakyat," tegas Yeka.

Data Ombudsman mencatat, sejak Januari hingga September 2025, terjadi sekitar 34 kejadian luar biasa (KLB) keracunan dengan ribuan korban, mayoritas anak sekolah.

Di Kabupaten Garut, 657 siswa keracunan setelah mengonsumsi nasi kotak MBG. Di Kulon Progo, Yogyakarta, 497 siswa mengalami gejala serupa.

Insiden terbesar terjadi di Bandung Barat dengan 1.333 siswa harus mendapat perawatan medis. Kasus lain juga muncul di Bengkulu, Sulawesi Tengah, Bogor, hingga Belitung.

[Gambas:Video CNN]

(del/dhf)

Read Entire Article
Entertainment |