Setumpuk Respons Badan Gizi soal Kasus Keracunan MBG

2 hours ago 3
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Gizi Nasional (BGN) tak cuma sekali memberikan respons terkait rentetan kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menimpa siswa di sejumlah daerah.

Insiden tersebut membuat ratusan siswa mengalami gejala mual hingga harus dirawat di rumah sakit. Bahkan, dalam kasus terbaru di Kecamatan Cipongkor, Bandung Barat, tercatat 600 orang mengalami gejala keracunan usai menyantap MBG.

Kepala BGN Dadan Hindayana sempat menegaskan pihaknya berkomitmen mengusut tuntas penyebab keracunan massal ini sekaligus melakukan evaluasi menyeluruh. Ia memastikan program tetap berjalan, tapi dengan pengawasan lebih ketat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menyikapi munculnya kasus serupa di beberapa wilayah, kami menegaskan komitmen BGN untuk mengusut tuntas penyebabnya dan melakukan evaluasi menyeluruh guna mencegah terulangnya kejadian serupa," ujar Dadan dalam keterangan resmi, beberapa waktu silam.

Menurut Dadan, penyebab keracunan tidak tunggal. Setiap insiden memiliki faktor berbeda, mulai dari bahan baku, proses distribusi, hingga kelemahan teknis di dapur penyedia.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sudah ada 6.452 kasus keracunan MBG atau naik 1.092 kasus per 21 September.

Berikut daftar alasan dan langkah korektif yang disampaikan BGN:

1.⁠ ⁠Bahan baku tidak layak konsumsi

Beberapa kasus dipicu oleh bahan baku yang kualitasnya tidak memenuhi standar. Karena itu, BGN mewajibkan pemilihan bahan harus lebih ketat dan segar. Pergantian pemasok juga disebut sebagai faktor risiko.

"Ada bahan baku yang tidak layak disajikan. Akhirnya sekarang kita tingkatkan bahan baku harus lebih selektif dan harus fresh," kata Dadan dalam RDP dengan Komisi IX DPR, Rabu (21/5).

2.⁠ ⁠Waktu masak dan distribusi terlalu panjang

Insiden di Bandung, Tasikmalaya, dan Sukoharjo menunjukkan makanan bisa basi akibat jeda panjang antara memasak dan pengiriman. Karena itu, BGN memperpendek waktu processing dan delivery.

"Kami akan memendekkan waktu antara penyiapan dan processing, termasuk menyiapkan untuk delivery. Itu kami akan perpendek," ujar Dadan di Gedung Ombudsman, Rabu (14/5).

3.⁠ ⁠Kelemahan teknis di SPPG baru

Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) alias dapur umum MBG yang baru beroperasi dinilai belum terbiasa memasak dalam jumlah besar. Hal ini menimbulkan kesalahan teknis, seperti di Cipongkor dan Bengkulu.

"Ibu-ibu yang biasa masak empat orang sampai 10 orang itu belum tentu bisa langsung untuk masak 1.000 sampai 3.000 porsi," jelas Dadan, Kamis (18/9).

4.⁠ ⁠Praktik membawa pulang makanan

Dadan mengklaim sebagian siswa terbiasa membawa pulang porsi MBG ke rumah, padahal makanan memiliki batas waktu aman untuk dikonsumsi. BGN kini memperketat aturan agar makanan segera habis di sekolah.

"Selama ini ada anak yang ingin bawa pulang ke rumah. Nah ini mungkin sudah harus kami perketat supaya tidak terjadi, karena masakan ini kan ada batas waktunya," kata Dadan.

5.⁠ ⁠Uji organoleptik sebelum dibagikan

Makanan kini wajib menjalani uji organoleptik, dilihat tampilan, aroma, rasa, hingga teksturnya, sebelum dibagikan ke siswa. Jika kualitasnya diragukan, makanan langsung diganti menu lain.

"Jika rasa, aroma, atau teksturnya sudah berubah lebih baik makanan di-hold, tidak dibagikan, dan digantikan dengan makanan yang lain," ujar Dadan.

6.⁠ ⁠Pelatihan ulang petugas dapur

Untuk mencegah kelengahan, BGN menggelar pelatihan rutin setiap dua bulan bagi petugas dapur. Pelatihan melibatkan Dinas Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan ahli gizi agar standar keamanan pangan tetap terjaga.

7.⁠ ⁠Makanan bermasalah ditarik

Dalam kasus Sukoharjo, BGN menyebut insiden murni kesalahan teknis. Sebanyak 2.400 porsi ayam crispy yang bermasalah langsung ditarik dan diganti dengan telur agar program tidak terhenti.

"Alhamdulillah sudah teratasi, karena pada saat dibagikan petugas kami segera menyadari ada hal yang kurang beres. Sehingga sisa yang 2.400-nya segera ditarik, digantikan dengan telur," jelas Dadan.

8.⁠ ⁠Faktor kesehatan siswa

Dadan menyebut tidak semua gejala muntah atau sakit perut berasal dari makanan MBG. Menurut BGN, kondisi kesehatan anak juga bisa memengaruhi. Pernah terjadi satu anak yang sakit muntah, lalu diikuti teman-temannya sehingga dianggap keracunan.

"Karena bisa saja makanannya fine-fine saja, anaknya dalam keadaan sakit. Nah, karena makan bergizi seolah-olah sakitnya dari makanan," jelas Dadan.

9.⁠ ⁠Belajar dari negara lain

Dadan menyebut insiden serupa juga terjadi di negara lain, bahkan setelah program berjalan puluhan tahun. Contoh di Mesir terjadi setelah 26 tahun, di Jepang setelah 49 tahun, hingga di Inggris setelah 99 tahun. Hal ini menjadi pelajaran agar Indonesia tetap waspada.

[Gambas:Video CNN]

(del/dhf)

Read Entire Article
Entertainment |