Teleskop Webb Dokumentasikan Planet Tabrak Bintangnya Sendiri

18 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Pengamatan baru dari Teleskop Luar Angkasa James Webb dengan metode semacam postmortem menunjukkan kematian planet, yang pada Mei 2020 diduga astronom berakhir hayatnya karena mendekati bintangnya, ternyata tidak tepat.

Pada saat itu untuk pertama kalinya para ahli mengamati sebuah panet ditelan oleh bintang induknya. Berdasarkan data yang tersedia ketika itu disimpulkan planet ditelan bintangnya yang membesar di akhir hidupnya menuju fase yang disebut raksasa merah.

Alih-alih bintang yang mendatangi planet, ternyata berdasarkan data Webb justru planet yang mendekati bintang tersebut. Akhir planet itu dramatis, sebagaimana dibuktikan oleh dokumentasi Webb.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Teleskop Webb, yang diluncurkan pada 2021 dan mulai beroperasi pada 2022, mengamati gas panas yang kemungkinan membentuk cincin di sekitar bintang setelah ditabrak planet dan awan debu dingin menyelimuti pemandangan tersebut.

"Kita tahu bahwa ada sejumlah besar material dari bintang yang dikeluarkan saat planet tersebut mengalami kehancuran total. Bukti setelah kejadian adalah material sisa berdebu yang dikeluarkan dari bintang induknya," kata astronom Ryan Lau dari NOIRLab milik Yayasan Sains Nasional AS, penulis utama studi ini yang dipublikasikan di Astrophysical Journal.

Bintang tersebut terletak di galaksi Bima Sakti, sekitar 12.000 tahun cahaya dari Bumi ke arah konstelasi Aquila. Sementara bintang tersebut sedikit lebih merah dan kurang bercahaya daripada matahari kita dan sekitar 70 persen dari massanya.

Planet tersebut diyakini berasal dari kelas yang disebut "Jupiter panas", gas raksasa bersuhu tinggi karena orbitnya dekat bintang induknya.

"Kami yakin planet itu mungkin merupakan planet raksasa, setidaknya beberapa kali massa Jupiter, yang menyebabkan gangguan dramatis pada bintang seperti yang kita lihat," kata rekan penulis studi Morgan MacLeod, seorang peneliti pascadoktoral di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.

Para peneliti yakin bahwa orbit planet itu memburuk secara bertahap karena interaksi gravitasinya dengan bintang.

"Kemudian planet itu mulai menyerempet atmosfer bintang. Pada titik itu, angin sakal yang menghantam atmosfer bintang mengambil alih dan planet itu jatuh semakin cepat ke bintang," kata MacLeod.

"Planet itu jatuh ke dalam dan terkelupas dari lapisan luar gasnya saat menghantam lebih dalam ke bintang. Sepanjang perjalanan, benturan itu memanas dan mengeluarkan gas bintang, yang memunculkan cahaya yang kita lihat dan gas, debu, dan molekul yang sekarang mengelilingi bintang," kata MacLeod.

Walau para ahli mengeluarkan hipotesa ini tetapi sebenarnya mereka tidak dapat memastikan peristiwa fatal yang sebenarnya.

"Dalam kasus ini, kami melihat bagaimana jatuhnya planet tersebut memengaruhi bintang, tetapi kami tidak benar-benar tahu pasti apa yang terjadi pada planet tersebut," ujar Macleod.

"Dalam astronomi, ada banyak hal yang terlalu besar dan terlalu 'di luar sana' untuk dijadikan eksperimen. Kami tidak dapat pergi ke laboratorium dan menghancurkan bintang dan planet secara bersamaan - itu akan menjadi hal yang mengerikan. Namun, kami dapat mencoba merekonstruksi apa yang terjadi dalam model komputer," ucap dia lagi.

Tidak ada satu pun planet di tata surya kita yang cukup dekat dengan matahari sehingga orbitnya terganggu. Meski begitu bukan berarti bahwa matahari pada akhirnya tidak akan menelan salah satu planet di tata surya.

Sekitar lima miliar tahun dari sekarang, matahari diperkirakan akan mengembang ke luar dalam fase raksasa merahnya dan dapat menelan planet terdalam Merkurius dan Venus, dan bahkan mungkin Bumi.

Selama fase ini, sebuah bintang meledakkan lapisan luarnya, hanya menyisakan inti di belakangnya - sisa bintang yang disebut katai putih.

Pengamatan baru Webb memberikan petunjuk tentang akhir planet.

"Pengamatan kami mengisyaratkan bahwa mungkin planet lebih mungkin menemui nasib terakhirnya dengan berputar perlahan ke arah bintang induknya alih-alih bintang itu berubah menjadi raksasa merah untuk menelannya. Namun, tata surya kita tampaknya relatif stabil, jadi kita hanya perlu khawatir tentang matahari yang menjadi raksasa merah dan menelan kita," kata Lau.

(fea)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |