Jakarta, CNN Indonesia --
Secara historis, Palestina merupakan pusat persimpangan budaya di dunia Arab. Pada awal abad ke-20, sektor pertanian dan perdagangan Palestina berkembang pesat.
Kehidupan perkotaan pun semarak dengan kehadiran teater, musik, dan sastra. Kota-kota Palestina menjalin hubungan ekonomi dan budaya yang erat dengan ibu kota Arab lainnya, seperti Kairo, Beirut, dan Damaskus.
Sebelum Israel berdiri, Yaffa atau Jaffa menjadi pusat perdagangan Palestina. Pelabuhan bersejarahnya, yang telah digunakan sejak zaman Alkitab, berfungsi sebagai gerbang menuju Laut Mediterania.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Yaffa dipenuhi berbagai bisnis sukses. Pabrik-pabrik di kota ini memproduksi beragam barang, mulai dari peti jeruk hingga sabun dan minyak zaitun. Sebagian besar surat kabar dan buku di Palestina dicetak dan diterbitkan di Yaffa, menjadikan kota ini pusat kehidupan yang dinamis, makmur, dan kaya.
"Strategi Zionis adalah melemahkan identitas budaya perkotaan Palestina. Mereka melihat kota-kota Palestina sebagai ancaman bagi tujuan mereka. Itulah mengapa mereka melancarkan perang brutal terhadap kota-kota, lebih daripada pedesaan," ungkap peneliti Palestina, Antoine Shalhat dalam video dokumenter Al Jazeera berjudul "Lost cities of Palestine: Haifa,Nazareth, and Jaffa".
Kota-kota Palestina yang berkembang pesat malah dinarasikan Zionis dengan mengklaim Palestina sebagai "tanah tanpa rakyat, untuk rakyat tanpa tanah."
Sebaliknya, kota-kota Palestina justru berada di garis depan peradaban dan budaya Arab. Kenyataan ini bertentangan dengan mitos bahwa pendirian negara Yahudi di jantung dunia Arab akan menjadi kekuatan pencerah. Pasca-pembersihan etnis di Palestina, Zionis berupaya menghapus identitas Palestina dari kota-kota tersebut, sekaligus menghilangkan warisan budayanya.
"Kota-kota Palestina dihancurkan pada 1948. Ini memperkuat klaim Zionis bahwa Palestina tidak memiliki warisan budaya. Fakta adanya aktivitas budaya di kota-kota Palestina adalah bukti terkuat keberadaan rakyat Palestina di tanah mereka," tegas Shalhat.
Ketika pasukan Zionis menguasai Yaffa dan Haifa pada April 1948, saat mandat Inggris masih berlaku, mayoritas warga Palestina diusir dari kota-kota tersebut.
Menurut akademisi Palestina, Dr. Raef Zreik, sedikit keluarga Palestina yang bertahan dipaksa tinggal di "area berpagar kawat berduri, seperti penjara."
Pada 1948, lebih dari 700.000 warga Palestina diusir secara paksa dari tanah mereka oleh gerombolan Zionis Israel, meninggalkan sekitar 400-600 kota dan desa hingga hampir kosong. Israel juga berupaya menghapuskan nama-nama Arab di kota-kota Palestina dan menggantinya dengan nama-nama Ibrani.