Bos Toyota Blak-blakan Sebut Mobil Listrik Kotor

9 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Perdebatan soal kendaraan paling ramah lingkungan kembali mencuat setelah Akio Toyoda, Chairman Toyota Motor Corporation, menyebut bahwa mobil listrik justru bisa menimbulkan emisi karbon lebih besar dibandingkan hybrid.

Pandangan ini muncul di tengah sejumlah pabrikan otomotif telah fokus ke kendaraan jenis battery electric vehicle (BEV).

Menurut Toyoda, mengandalkan mobil listrik saja tidak menjamin pengurangan emisi global secara efektif. Ia menegaskan bahwa strategi berbasis banyak jalur (multi-pathway), termasuk pengembangan hybrid, hidrogen, dan mesin konvensional efisien justru lebih realistis untuk menurunkan jejak karbon industri otomotif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami telah menjual sekitar 27 juta mobil hybrid. Mobil-mobil hybrid itu memberikan dampak yang sama seperti 9 juta BEV (battery electric vehicles) di jalan," kata Toyoda, dikutip dari InsideEVs, Selasa (17/6).

Ia bahkan mengklaim bahwa produksi massal mobil listrik di Jepang dapat memperparah emisi, bukan menyelesaikannya.

"Jika kami memproduksi 9 juta BEV di Jepang, justru akan meningkatkan emisi karbon, bukan menguranginya," ucapnya.

Hal ini, menurut Toyoda, disebabkan oleh ketergantungan Jepang pada pembangkit listrik tenaga termal berbasis batu bara.

Riset EV

Pandangan dari petinggi Toyota itu dianggap bertolak belakang dengan temuan banyak lembaga riset. Studi Universitas Tsinghua pada 2022 misalnya, menyimpulkan bahwa mobil listrik menghasilkan 20-30 persen lebih sedikit emisi karbon sepanjang masa pakainya dibandingkan mobil bensin di Tiongkok, meski negara itu juga masih mengandalkan batu bara.

Data dari CATARC (China Automotive Technology & Research Center) bahkan menunjukkan bahwa EV ukuran ringkas hanya menghasilkan sekitar 118 gram CO₂ per kilometer, dibandingkan 163 gram dari mobil konvensional setara.

Hal serupa juga ditemukan secara global. Studi yang dimuat di jurnal ilmiah Nature pada 2022 mencatat bahwa EV merupakan moda transportasi paling rendah emisinya di lebih dari 95 persen wilayah dunia, termasuk di negara-negara yang masih menggunakan energi kotor.

Sementara itu, studi dari Argonne National Laboratory memperjelas konteks siklus hidup kendaraan. Produksi awal mobil listrik memang menghasilkan emisi lebih tinggi (11-14 ton CO₂), tetapi kendaraan ini akan "menebus" jejak karbonnya dalam 31-45 ribu kilometer. Setelah itu, emisi selama sisa masa pakainya jauh lebih rendah dibandingkan kendaraan bermesin pembakaran dalam (ICE).

Bahkan di negara-negara yang pembangkit listriknya masih dominan fosil, data dari MIT dan Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) yang dikutip Car News China menunjukkan efisiensi emisi EV tetap lebih unggul dari mobil konvensional.

Perspektif industri vs ilmu pengetahuan

Pernyataan Toyoda bukan kali pertama memicu debat soal arah elektrifikasi. Sebelumnya, Toyota memang dikenal lambat dalam menyambut tren BEV dibandingkan kompetitornya. Namun, melalui strategi multi-pathway, perusahaan ini tetap percaya bahwa transisi menuju netral karbon tak harus selalu mengandalkan satu teknologi saja.

Sementara itu, semakin banyak studi ilmiah yang mendorong penggunaan kendaraan listrik sepenuhnya, dengan catatan infrastruktur energi bersih juga dibangun sejalan.

Dalam konteks Indonesia, debat seperti ini menjadi penting karena negara tengah membangun ekosistem kendaraan listrik nasional, mulai dari hulu pertambangan nikel hingga hilir kendaraan dan infrastrukturnya. Menentukan strategi mana yang paling tepat bukan hanya soal teknologi, tapi juga kesiapan sumber daya dan arah kebijakan energi nasional.

(job/mik)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |