Jakarta, CNN Indonesia --
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyebut royalti bukan hanya untuk musik berupa lagu yang diputar di ruang usaha dan didengar oleh publik, tetapi juga berlaku untuk suara burung dan alam.
Sejumlah pihak menyiasati penggunaan musik di tempat usahanya dengan memutar suara burung dan alam sebagai pengganti lagu, tapi ternyata suara itu pun juga tak lepas dari royalti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenapa suara burung dan alam bisa kena royalti?
Meski suara burung dan alam bukan buatan manusia, tetapi keberadaannya sebagai fail musik juga adalah hasil karya cipta manusia.
Usaha itulah yang menyebabkan suara burung dan alam juga terbilang karya cipta dan karenanya bisa dikenakan royalti bila menggunakan bukan untuk kepentingan pribadi, terutama untuk usaha atau bisnis.
"Sekarang kalau dia putar suara burung atau suara apa pun, itu ada hak dari produser fonogramnya. Produser yang merekam itu kan punya hak terkait. Hak terhadap materi rekaman itu, itu juga hak terkait dari bentuk rekaman audio," kata ketua LMKN, Dharma Oratmangun.
Ketentuan ini bukan tiba-tiba datang, tetapi sudah tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta atau UU Hak Cipta.
Dharma kemudian menjelaskan aturan tentang royalti itu tidak hanya berlaku untuk lagu-lagu dari Indonesia, tetapi juga produksi luar negeri. Menurutnya, royalti itu bahkan tetap dibayar melalui LMKN.
Ia memastikan lembaga manajemen kolektif (LMK) di bawah naungan LMKN sudah bekerja sama dengan LMKN dari luar negeri, sehingga proses pembayaran royalti dapat diurus dengan mudah lewat satu pintu.
"Jadi, pakai lagu luar negeri pun harus bayar royalti melalui LMKN," kata Dharma Oratmangun. "Iya itu kan kami collab dengan LMKN yang ada di masing-masing negara. Jadi, imbauannya itu adalah pakai aja musik, bayar royalti, selesai."
"Kenapa sih susah banget bayar haknya orang?" katanya seperti diberitakan detikPop pada Rabu (6/8). "Kalau kamu untung dari suasana yang tercipta, masa enggak mau bagi sedikit buat orang yang bikin suasananya?"
Pada 2016, Menteri Hukum sendiri sudah mengeluarkan besaran tarif royalti untuk pengguna yang melakukan pemanfaatan komersial ciptaan dan/atau produk hal terkait musik dan lagu.
SK Menteri Tarif Royalti Musik dan Lagu untuk Pengguna tersebut juga menyatakan jumlah biaya itu tersebut berlaku wajib royalti yang bergerak dalam bidang usaha jasa kuliner bermusik yang mencakup namun tak terbatas pada restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek.
Dalam situs LMKN, tarif royalti per tahun untuk restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek ditetapkan berbeda-beda baik untuk Hak Pencipta atau pun Hak Terkait. Untuk Restoran dan kafe dihitung per kursi kapasitas, sementara untuk sisanya dihitung per luasan meter persegi.
Contoh Penghitungan Royalti untuk Restoran/Kafe
Bila sebuah kafe A dengan kapasitas 20 kursi menyetel lagu atau musik untuk pelanggannya, maka ada sejumlah uang yang mesti dibayar sebagai royalti.
Jenis usaha tersebut tergolong Restoran & Kafe yang akan memiliki tarif Rp120 ribu per kursi per tahun untuk gabungan royalti Hak Pencipta dan Hak Terkait, sesuai dengan ketentuan LMKN.
Dengan menghitung jumlah kursi sebanyak 20 unit, maka bayaran royalti per tahun yang harus dibayar oleh kafe A adalah Rp2,4 juta. Tagihan tersebut masih berupa estimasi dan belum termasuk pajak.
Berikut tarif royalti untuk jenis usaha lainnya:
Infografis Daftar Tarif Royalti Musik di Mal, Karaoke, hingga Diskotek. (CNNIndonesia/Basith Subastian)
(end)