MK Tolak Uji Formil UU TNI, 4 Hakim Beda Pendapat

2 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Pemohon uji formil perkara ini terdiri dari tiga organisasi yang aktif melakukan kerja advokasi HAM dan demokrasi serta aktif mendorong reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Kemudian tiga pemohon perorangan Warga Negara Indonesia yakni aktivis HAM yang juga merupakan Putri Presiden RI ke-4 Inayah Wahid, mantan Koordinator KontraS Fatiah Maulidiyanty, dan aktivis mahasiswa Eva Nurcahyani.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemohon V dan VI yakni Eva Nurcahyani dan Fatia Maulidiyanti tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. Pemohon lainnya dinilai mempunyai kedudukan hukum.

"Mengadili: Dalam pokok permohonan: 1. Menyatakan permohonan Pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat diterima. 2. Menolak permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV untuk seluruhnya ," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (17/9).

Hakim MK Daniel Yusmic P Foekh menuturkan UU 34/2004 telah terdaftar dan tercantum berulang kali di Program Legislasi Nasional (Prolegnas), dan setidaknya terdaftar dua kali sebagai Prolegnas Prioritas.

RUU perubahan atas UU 34/2004 telah dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025, di mana hal tersebut sangat berkaitan erat dengan kebijakan politik hukum dari pembentuk Undang-undang yang menyatakan ada dinamika kompleksitas tantangan pertahanan dan keamanan negara sehingga menciptakan urgensi nasional.

Daniel bilang hal demikian masih sejalan dengan hakikat dan tujuan dari tugas Badan Legislasi dalam memberikan pertimbangan terkait suatu UU dimasukkan dalam Prolegnas perubahan.

Artinya, persetujuan yang disepakati oleh DPR dalam Rapat Paripurna tanggal 18 Februari 2025 sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR, secara substansial telah mewakili representasi dimaksud yang dapat dimaknai sebagai bentuk kesepakatan DPR untuk memasukkan RUU perubahan atas UU 34/2004 ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025.

"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Para Pemohon berkenaan perencanaan revisi UU TNI dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dilakukan secara melanggar prosedur sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat 2, Pasal 1 ayat 3, Pasal 20, dan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945, UU P3, dan Tatib DPR 1/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Daniel.

Sementara itu, Hakim MK M Guntur Hamzah mengatakan berdasarkan fakta yang diperoleh MK, pembentuk Undang-undang disebut telah melakukan upaya untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pembahasan UU 3/2025.

"Sejalan dengan itu, pembentuk Undang-undang juga melakukan upaya baik melalui tatap muka dalam berbagai diskusi publik maupun melalui metode berbagi informasi secara elektronik melalui laman resmi maupun kanal YouTube yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan terutama para pemangku kepentingan yang hendak menggunakan haknya untuk berpartisipasi," ucap Guntur.

Putusan ini diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari empat orang hakim konstitusi yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani.

Mereka berpendapat bahwa permohonan Pemohon beralasan menurut hukum sehingga MK seharusnya mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian.

Sebelumnya, Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan sempat meminta MK untuk menjatuhkan putusan sela dalam perkara uji formil UU TNI.

Wakil Direktur Imparsial Husein Ahmad yang bertindak sebagai kuasa hukum menyatakan UU3/2025 dibuat secara ugal-ugalan (abusive law making) dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perencanaan Revisi UU TNI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025 dilakukan secara ilegal sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3) dan Tata Tertib DPR.

Hal itu lantaran pengambilan keputusan untuk memasukkan revisi UU TNI tidak termasuk dalam agenda Rapat Paripurna tanggal 18 Februari 2025.

Namun, secara tiba-tiba, Ketua Sidang Adies Kadir (Wakil Ketua DPR, Fraksi Partai Golongan Karya atau Golkar) meminta persetujuan anggota DPR yang hadir dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui Revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025.

Revisi UU TNI disebut juga bukan carry over sehingga pembahasannya melanggar Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR.

Revisi UU TNI dibilang tidak termasuk dalam 12 RUU carry over sebagaimana tertuang dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029.

Oleh karena itu, Revisi UU TNI tidak sepatutnya dilanjutkan ke tahap pembahasan melainkan harus terlebih dahulu melalui tahapan perencanaan dan penyusunan Undang-undang.
Lebih lanjut, Revisi UU TNI dinilai tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI yang ditetapkan oleh berbagai politik hukum mengenai TNI pascareformasi 1998.

Satu di antara maksud awal (original intent) pembentukan UU 34/2004 adalah memisahkan TNI dari politik dan bisnis demi terwujudnya tentara yang profesional. Namun, penambahan posisi jabatan sipil yang dapat dijabat oleh prajurit aktif pada Pasal 47 Revisi UU TNI justru memperluas peran militer di wilayah sipil.

Hal itu bertentangan dengan asas kejelasan tujuan serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana termaktub dalam UU P3.

Proses pembahasan revisi UU TNI disebut dengan sengaja menutup partisipasi publik dan tidak transparan sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum.

Hal itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945 serta UU P3 dan Tata Tertib DPR.

Segala dokumen pembentukan Revisi UU TNI mulai dari Naskah Akademik, Daftar Inventaris Masalah (DIM), hingga Undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik.

Selain itu, sejumlah rapat pembentukan Revisi UU TNI oleh DPR dan Pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup.

Presiden dan DPR disebut dengan sengaja menahan Revisi UU TNI dan tidak langsung membuka akses dokumen revisi kepada publik.

Hingga saat ini, Presiden dan DPR belum menyebarluaskan Revisi UU TNI yang telah diundangkan. Pada laman resmi Pemerintah maupun DPR tidak dapat ditemukan dokumen revisi UU TNI.

Hal itu menyalahi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UU P3.

Para Pemohon menyodorkan sejumlah petitum dalam permohonannya. Mereka meminta MK mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.

MK diminta untuk menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang menurut Undang-undang Dasar 1945, serta menyatakan UU 3/2025 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Para Pemohon juga meminta MK menyatakan ketentuan dalam UU 34/2004 tentang TNI berlaku kembali.

(ryn/isn)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |