Jakarta, CNN Indonesia --
Duncan Haldane sudah menekuni riset sejak tahun 1975. Laki-laki keturunan Inggris-Slovenia berusia 72 tahun ini adalah fisikawan lulusan Universitas Oxford dan penerima hadiah Nobel Fisika tahun 2016 untuk temuannya tentang teori transisi fase topologi dan fase topologi materi.
Ia sudah mengajar ribuan mahasiswa dalam berbagai level riset, bertemu pusat-pusat riset fisika internasional dan berkeliling berbagai negara di dunia. Tapi Duncan Haldane belum pernah bertemu satupun peneliti riset fisika asal Indonesia.
"Apakah karena memang peneliti fisika asal Indonesia tidak banyak bergaul dengan kalangan internasional? Atau karena memang fisika tidak menarik bagi orang Indonesia?" tanya Haldane.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia melongo saat tahu kalau Indonesia adalah negara dengan populasi mendekati 280 juta jiwa.
Pertemuan dengan Haldane terjadi di arena Lindau Nobel Laureate Meeting, agenda tahunan di mana para pemenang hadiah Nobel dipertemukan dengan para peneliti muda dari seluruh dunia di kota kecil Lindau terletak di ujung selatan Jerman. Haldane adalah satu dari 36 peraih Nobel Fisika dan kimia yang hadir, sementara 638 ilmuwan fisika muda hadir sebagai undangan untuk berinteraksi dengan para dewa riset ini.
Arena Lindau ini sangat bergengsi untuk peneliti muda dunia. Seleksinya ketat karena banjir peminat. Saking ketatnya, tiap peneliti muda cuma boleh datang satu kali dalam seumur hidup sebagai peserta. Diantara ratusan peserta, hanya ada dua ilmuwan muda Indonesia.
Septia Kholimatussadiah sedang menempuh pendidikan doktoral sekaligus melangsungkan risetnya tentang nanomaterial untuk aplikasi energi terbarukan di Center for Condensed Matter Sciences Taiwan.
Problem fisika di Indonesia, menurut Septia adalah salah ajaran sejak awal.
"Wrong conception soal fisika. Yang sering kita dengar ngapain ngitungin berapa bola basket atau buah apel yang jatuh. Padahal fisika jangkauannya luas sekali. Ilmu ini bisa memperbaiki kualitas hidup kita," kata Septia, yang juga merupakan dosen muda Universitas Airlangga.
Angie Veronica merasakan hal yang sama. Ia sudah meninggalkan Indonesia sejak lulus SMA. Mulanya hanya berniat menamatkan S1, kini Angie menempuh studi doktoral bidang astrofisika di Universitas Bonn.
"Saya ditanya sesama orang Indonesia: untuk apa belajar astrofisika tidak ada aplikasinya di dunia nyata. Pemahaman begini datang karena sejak awal murid-murid kita ditakut-takuti fisika itu sulit, fisika itu serem. Padahal, mestinya pesan yang disampaikan adalah jangan takut, fisika itu yang membuat kita tahu tentang semesta," kata Angie yang juga peneliti objek ekstragalaksi tata surya ini.
Sejak 1901, Nobel bidang fisika sudah dianugerahkan pada 224 orang. Hanya 13 Nobel fisika yang diterima warga negara Asia dari Jepang, Cina, India dan Pakistan.
"Dari Asia, saya paling banyak bertemu fisikawan Cina, banyak sekali. India, Iran, Vietnam juga ada, Bangladesh ada sedikit, Thailand ada. Saya pernah ke Singapura dan bertemu fisikawan sana, mereka bagus. Indonesia mungkin perlu mengirim lebih banyak siswanya agar makin banyak yang belajar fisika sehingga network antar fisikawan makin luas," saran Haldane.
Saat ini setidaknya 43 universitas di Indonesia memiliki jurusan Fisika. Lembaga pemeringkat kinerja pendidikan tinggi Edurank menempatkan dua universitas negeri terkemuka Indonesia, ITB dan UI, masing-masing di urutan 460 dan 468 dari jurusan fisika universitas di Asia.
Kepala Program Studi Fisika di Fakultas Matematika dan IPA ITB Profesor Sidik Permana membenarkan situasi fisika di Indonesia saat ini memang tak menggembirakan. Peminat turun, kinerja riset berkurang akibat pemotongan anggaran Ristekdikti.
"Memang di negara berkembang seperti kita, semua bidang keilmuan pasti titik beratnya ke terapan (applied) agar, misalnya, mudah dapat kerja. Tetapi sebenarnya Fisika menawarkan spektrum yang amat luas mulai dari pembuatan pesawat ulang-alik sampai alat medis, menjelaskan fenomena ekonomi bahkan antropologi - kan ada tuh cabang econophysics, misalnya," kata Sidik.
Menurutnya sekitar separuh lulusan Prodi Fisika bekerja di perusahaan tambang dan rintisan teknologi (startup) karena memanfaatkan ilmu Fisika Komputasi. Masalahnya jangkauan Fisika yang demikian lebar dan mumpuni ini menurut Sidik gagal diinformasikan pada publik.
"Balik ke bola-bola jatuh dan ngitung bandul bergerak tadi itu. Jadinya Fisika punya stigma sulit dan abstrak, ngapain lah (dipelajari)," tambahnya.
Karena itu PR utama pengembangan Fisika di Indonesia menurut Sidik adalah kampanye mendekatkan manfaat Fisika dan jangkauannya ke berbagai bidang ilmu yang tak terbatas.
"Kita perlu pikirkan borderless approach-nya," kata Sidik.
Meski mengakui jarak Indonesia dari Nobel Fisika masih terlalu jauh, Prodi Fisika ITB memilih optimistis dengan mendekatkan publik Fisika dengan jalan menuju Nobel. Antara lain dengan mengundang pemenang Hadiah Nobel Fisika memberikan kuliah sebagai inspirasi dan mendekatkan ide pentingnya riset dasar Fisika pada mahasiswa.
"Jadi target kita kolaborasi saja dulu dengan para laureate (pemenang) ini. Sehingga kita bisa belajar, lihat bagaimana kerja mereka sampai menuju Nobel. Kalau kaya SPBU mulai (riset dasar) dari nol, ya akan butuh berapa tahun lagi. Apalagi sekarang anggarannya dipotong," simpul Sidik.
(dsf/dmi)