Jakarta, CNN Indonesia --
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mengungkap Indonesia ternyata tengah kekurangan pasokan atau defisit gas dan diperkirakan akan berlangsung cukup lama hingga 2035, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa.
Direktur Utama PGN Arief S Handoko mengatakan wilayah akan kekurangan gas hingga 513 juta kaki kubik standar per hari (MMSCFD).
"Kondisi defisit ini sudah terjadi sejak 2025 dan ini dipengaruhi atau disebabkan utamanya karena penurunan natural atau natural declining dari pemasok yang belum dapat diimbangi dengan temuan cadangan dan produksi dari lapangan gas bumi baru," ujar Arief dalam Rapat Kerja Komisi XII, Senin (30/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arief mengatakan pada periode tersebut penurunan produksi dan pasokan secara rinci akan terjadi di beberapa daerah yaitu Sumatera Utara, Sumatera bagian selatan, Jawa Barat, serta Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Profil gas balance PGN periode 2025 sampai 2035 mengalami tren penurunan. Di sini yang akan sedikit lebih mengkhawatirkan di mana sejak 2025 short dari gas balance kita, dari 2025 sampai ke 2035 itu shortage-nya semakin membesar sampai minus 513 [MMscfd]," ujar dia.
Sementara itu, di Sumatera bagian utara, defisit pasokan gas diperkirakan mulai 2028 hingga 2035.
"Kalau kita lihat dari 2025 sampai 2035 cenderung short gas di Sumatera bagian utara dan tengah ini turun sejak di 2028. Jadi kalau kita lihat sejak 2028 ke 2035 shortage sampai ke 96 MMscfd," jelas Arief.
Lalu apa bahayanya jika RI defisit gas?
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan apabila Indonesia kekurangan gas, maka dampaknya tidak hanya kepada masyarakat luas yang selama ini bergantung pada gas. Tetapi juga industri yang lebih besar, seperti sektor pupuk.
Dampak utama saat pasokan kurang adalah harga makin mahal dan bisa memicu masalah ekonomi lainnya, seperti lonjakan inflasi.
"Industri pun akan kesulitan mendapatkan pasokan gas. Harga akan menjadi mahal, dan tidak lagi efisien. Bagi masyarakat juga akan kesulitan untuk mendapatkan gas, terutama yang sudah mengandalkan pasokan gas bumi," ujar Huda kepada CNNIndonesia.com.
Terlebih, Huda memprediksi pemanfaatan dan permintaan gas akan terus meningkat seiring dengan perkembangan industri dan peningkatan bauran energi.
Oleh karena itu, Huda meminta pemerintah kembali mengevaluasi kebutuhan dalam negeri sebelum mengizinkan ekspor Liquefied Natural Gas (LNG). Pasalnya, Indonesia memiliki cukup LNG, tetapi selama ini memang banyak yang diekspor.
"Gasifikasi PLN dan permintaan untuk industri pupuk harusnya menjadi prioritas nasional dengan mengalokasikan juga untuk gas bumi ke masyarakat," jelasnya.
Huda menilai daripada mengambil opsi impor LNG, maka lebih baik mengurangi impor dan mengamankan stok dalam negeri terlebih dahulu.
"Dengan memperhitungkan permintaan serta produksi, harusnya pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih baik dibandingkan dengan impor LNG dari luar. LNG nasional juga cukup besar, namun sebagian besar digunakan untuk ekspor. Perlu langkah memprioritaskan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu," terangnya.
Menurut Huda, apabila kebutuhan gas tidak diprioritaskan untuk permintaan dalam negeri, yang terjadi defisit akan semakin membesar dan LNG dalam negeri tidak dapat dimanfaatkan.
Selain itu, bukan hanya industri dan masyarakat yang terdampak, tapi target bauran energi yang sudah dicanangkan sejak lama tak akan tercapai.
"Dampaknya adalah program bauran energi dalam operasional pembangkit listrik tidak akan optimal," tegasnya.
Sementara, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjajaran Yayan Satyakti mengatakan apabila Indonesia kekurangan gas, maka impor harus dilakukan.
Namun, di tengah kondisi pasar migas penuh dengan ketidakpastian saat ini, langkah impor pun akan sulit dilakukan karena banyak negara yang biasanya mengurangi ekspor mereka.
"Walaupun harga minyak bumi turun, sehingga kemungkinan harga impor turun, tetapi akses perdagangan internasional belum tentu bisa mudah," kata Yayan.
Menurut Data Statistik pada 2023, negara penghasil gas terbesar adalah Amerika Serikat (26,5 persen), Rusia (9,9 persen), Qatar (25,2 persen), dan Norwegia (1,3 persen). Di mana dua negara utama tak pasti kebijakannya.
Selain itu, meski mendapatkan impor, dampaknya ke APBN akan cukup berat.
"Pengaruh ke APBN tentu akan sangat signifikan, dengan kondisi perdagangan internasional yang tidak kondusif akibat trade war ini," terangnya.
Sektor Terdampak
Sementara, Yayan melihat dampak kekurangan gas terjadi utamanya kepada lima industri. Paling besar adalah terhadap industri pupuk yang harganya pasti melonjak tajam.
"Harga pupuk, dan pasokan pupuk bisa terhambat. Jika kita lihat Gas Bumi mendorong industri Pupuk sebesar 10 persen," jelasnya.
Apabila menggunakan data Tabel Input-Output BPS 2020, sektor yang akan terdampak jika pasokan gas defisit adalah:
1. Industri Pupuk (10,03 persen)
2. Listrik (8,27 persen)
3. Kaca dan Barang-barang Kaca (6,57 persen)
4. Barang-barang dari Keramik, Tanah Liat dan Porselen (7,14 persen)
5. Besi dan Baja Dasar (6,03 persen)
(ldy/sfr)