CNN Indonesia
Selasa, 12 Agu 2025 11:47 WIB
Jakarta, CNN Indonesia --
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese yang akan mengakui negara Palestina menyemprot balik kecaman PM Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa (12/8).
Albanese mengungkapkan alasan pemerintahannya akan mengakui negara Palestina karena sikap keras kepala Israel yang tak mau menyudahi agresi di Jalur Gaza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sikap itu, lanjutnya, jadi titik tolak Australia, Prancis, Kanada, dan Inggris, yang kini berbalik mendukung pengakuan negara Palestina lantaran Netanyahu tak mau mendengarkan peringatan dari negara-negara sekutunya.
Albanese bahkan menyebut Netanyahu selalu dalam posisi menyangkal terkait genosida Israel di Gaza yang menyebabkan puluhan ribu orang tewas dan jutaan lainnya kelaparan.
"Ia (Netanyahu) sekali lagi menegaskan kepada saya apa yang telah ia sampaikan di depan umum, yaitu menyangkal konsekuensi yang terjadi pada orang-orang yang tidak bersalah," tutur Albanese seperti dikutip dari Reuters.
Netanyahu sebelumnya mengecam rencana Australia yang akan mengakui negara Palestina di Sidang Majelis Umum PBB.
Ia secara blak-blakan menyampaikan kekecewaannya setelah Australia mengikuti jejak sekutu AS lainnya bersiap akui negara Palestina.
"Melihat negara-negara Eropa dan Australia masuk ke dalam lubang begitu saja, langsung terjerumus ke dalamnya. Ini mengecewakan dan saya pikir ini memalukan, tapi itu tidak mengubah posisi kami," kata Netanyahu, dikutip dari Reuters.
Australia berencana mengakui negara Palestina di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September mendatang.
Albanese menilai pengakuan Australia itu bersama dengan Prancis, Kanada, dan Inggris bakal menambah tekanan terhadap Israel.
Keputusan Australia itu juga akan bergantung dari komitmen yang diterima Otoritas Palaestina bahwa kelompok perlawanan Hamas tak akan terlibat dalam pembetukan negara di masa mendatang.
Langkah tersebut bukan tanpa tentangan di dalam negeri Australia. Pemimpin oposisi sayap kanan, Sussan Ley, menilai keputusan itu bertentangan dengan kebijakan bipartisan yang telah lama berlaku atas Israel dan wilayah Palestina.
Langkah itu juga berisiko membahayakan hubungan antara Australia dan Amerika Serikat.
(bac)