Sejarawan Kritik Fadli Zon: Sejarah Resmi Biasa Ada di Negara Otoriter

15 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Sejarawan dari Universitas Nasional (Unnas) Andi Achdian mempertanyakan keputusan pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan melakukan revisi terhadap sejarah negara Republik Indonesia (RI).

Menurut Andi, negara demokratis tak lumrah menulis sejarah negaranya. Biasanya, kata dia, sejarah negara ditulis dan diinterpretasikan kepada para sejarawan, dan bukan program atau proyek resmi negara. Biasanya, kata dia, penulisan sejarah resmi hanya dilakukan negara-negara otoriter.

"Biasanya negara-negara demokratis kan ngapain sih gitu loh bikin program itu ya. Bikin penulisan sejarah. Biasanya kan negara-negara otoriter tuh, yang punya kepentingan untuk menulis sejarah resmi yang mereka klaim sebagai sejarah resmi," kata Andi saat dihubungi, Rabu (7/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih jauh, Andi turut mengkritik sejumlah babak sejarah yang hilang dalam proyek yang dilakukan 100 penulis tersebut. Andi mengaku sempat melihat outline penulisan sejarah tersebut dan menyayangkan karena ada revisi berarti dari sebelumnya.

Dia misalnya menyesalkan karena outline buku tersebut tak memasukkan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM. Menurut dia, dari 12 pelanggaran HAM, outline buku sejarah hanya memasukkan dua di antaranya.

"Sementara problem-problem lain seperti yang sudah diakui negara sendiri kan 12 pelanggaran apa namanya HAM masa lalu yang berat itu juga tidak masuk gitu," katanya.

Berdasarkan outline tersebut, Andi bilang revisi penulisan sejarah hanya berisi glorifikasi terhadap pemerintahan presiden mulai Sukarno hingga Jokowi.

Sementara, kata Andi, beberapa peristiwa penting, seperti kasus pelanggaran HAM '65 hingga penculikan di akhir Orde Baru tak masuk dalam outline buku tersebut.

"Jadi enggak ada luka sejarahnya. Semuanya baik-baik saja. Nah itu problem dari sejarah official history ya," kata dia.

Menurut Andi, penulisan sejarah resmi oleh negara bukan lagi bicara soal perdebatan soal metode atau pemilihan materi. Menurut dia, negara mestinya juga bertanggung jawab terhadap publik.

Sebab, sejarah juga terkait erat dengan korban kekerasan yang dilakukan negara. Andi menilai negara mestinya harus melihat aspek tersebut.

"Tapi sekarang misalnya bagaimana dengan keluarga korban. Bagaimana dengan komunitas-komunitas lain yang ceritanya disingkirkan dalam sejarah resmi," kata dia.

"Harapan saya dibuka lah. Suaranya siapa yang payung hitamnya Bu Sumarsih, iya kan? Ini para sejarawan seolah-olah lebih suka ngedenger suaranya Jokowi, IKN gitu, yang kita tahu amburadulnya gitu kan?" Imbuh Andi.

Diuji publik sebelum rilis

Hal senada juga disampaikan sejarawan sekaligus anggota Komisi X DPR dari PDIP, Bonnie Triyana. Dia meminta naskah buku penulisan ulang sejarah RI diuji publik sebelum diterbitkan.

Menurut dia, masyarakat harus memberi masukan terhadap buku tersebut. Sebab, menurut dia, sejarah sejatinya merupakan milik masyarakat.

"Saya minta naskah buku sejarah itu diuji publik dulu sebelum diterbitkan. Supaya dapat masukan dari masyarakat. Karena sejatinya sejarah adalah milik masyarakat, bukan hanya milik negara," kata Bonnie saat dihubungi, Selasa (6/5).

Sebelumnya Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menyatakan akan menuliskan ulang sejarah Indonesia dengan target rampung pada Agustus 2025 bertepatan dengan HUT ke-80 RI.

Pada Selasa (6/5), Fadli menyatakan penulisan ulang sejarah itu akan melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi yang memiliki kompetensi mumpuni di bidangnya.

Fadli menyebut penulisan sejarah resmi Indonesia terakhir kali dituangkan pada 2012 dalam buku 'Indonesia Dalam Arus Sejarah'.

Fadli menyampaikan hasil penulisan ulang sejarah itu akan dijadikan versi teranyar buku sejarah resmi Indonesia dan bakal menjadi panduan ajaran di sekolah-sekolah.

"Ya semua yang perlu di-update, kita update. Misalnya periode terakhir itu periode sebelum Pak SBY kalau nggak salah. Nanti tentu ditambahkan," ucapnya.

(thr/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |