Jakarta, CNN Indonesia --
Banyak orang mengira serangan stroke hanya terjadi sekali dalam hidup. Padahal kenyataannya tidak demikian. Stroke bisa datang kembali bahkan, dengan dampak yang lebih parah dari sebelumnya.
Data menunjukkan bahwa 1 dari 4 penyintas stroke akan mengalami serangan berulang. Risiko ini menjadi lebih tinggi jika faktor-faktor pemicunya tidak dikendalikan secara serius.
Ironisnya, sebagian besar orang lebih fokus memantau tekanan darah atau gula darah, tapi lupa bahwa aliran darah ke otak juga harus dijaga. Padahal, gangguan sedikit saja di otak bisa mengubah hidup seseorang dalam sekejap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter Spesialis Saraf dari Bethsaida Hospital, Puspasari mengatakan dalam dunia medis, serangan stroke berulang disebut sebagai recurrent stroke.
"Risiko ini bisa terjadi dalam hitungan hari, bulan, atau tahun setelah serangan pertama," kata Puspasari dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (1/6).
Dia juga menjelaskan beberapa penyebab utama stroke berulang. Umumnya stroke berulang ini berasal dari faktor risiko yang tidak dikendalikan dengan baik, seperti:
• Hipertensi (tekanan darah tinggi)
• Diabetes melitus
• Kolesterol tinggi
• Penyakit jantung
• Merokok dan konsumsi alkohol
• Kepatuhan rendah terhadap pengobatan
• Kurang perubahan gaya hidup pascastroke
"Stroke bisa menyerang siapa saja, kapan saja. Namun, dengan gaya hidup sehat dan deteksi dini, penyakit ini bisa dicegah. Ketika gejala stroke sudah terjadi secara berulang, waktu penanganannya mulai menyempit," jelas Puspasari.
Dia pun menyebut, deteksi risiko stroke bahkan sebelum gejalanya muncul, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit kronis atau sudah pernah terserang sebelumnya sangat penting dilakukan.
Salah satu deteksi yang bisa dilakukan yakni dengan Transcranial Doppler (TCD).
Ilustrasi. Dokter spesialis bedah saraf Bethsaida Hospital berkata stroke bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Gaya hidup sehat dan deteksi dini dapat mencegah penyakit ini. (Dwi Lindah Permatasari)
"Pemeriksaan ini memungkinkan dokter memantau aliran darah di pembuluh besar otak secara non-invasif, bebas radiasi, dan tanpa rasa sakit," katanya.
TCD bekerja dengan cara mengirimkan gelombang ultrasound melalui bagian tipis tengkorak, seperti pelipis atau belakang kepala untuk mengukur kecepatan aliran darah di arteri utama otak.
"Bagi pasien dengan hipertensi, kolesterol tinggi, atau riwayat stroke, pemeriksaan TCD bisa memberikan keunggulan waktu. Ini semacam head start untuk mencegah kerusakan otak yang bisa saja terjadi tiba-tiba dan permanen," jelas Puspasari.
Selain stroke, pemeriksaan TCD juga bisa membantu memantau atau mendeteksi berbagai kondisi medis yang berhubungan dengan aliran darah otak, antara lain:
• Stroke Iskemik dan TIA (Transient Ischemic Attack)
• Vasospasme setelah perdarahan subarachnoid
• Deteksi emboli (gumpalan darah atau udara)
• Arteriovenous Malformation (AVM)
• Moyamoya (penyakit pembuluh darah otak langka)
• Hipoperfusi otak dan hiperemia
• Paten Foramen Ovale (PFO)
• Anemia sel sabit pada anak
• Kematian batang otak (brain death)
• Monitoring selama operasi jantung terbuka atau bedah saraf
(tis/els)