Pencairan Pensiun dan Pajak Progresif Pensiun-Pesangon Digugat ke MK

3 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Skema pencairan dana pensiun hingga pajak progresif yang diterapkan pada uang pensiun dan pesangon digugat sejumlah karyawan swasta ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan itu diajukan dalam dua permohonan berbeda yang disidangkan MK pada pekan ini.

Pajak progresif untuk uang pesangon dan uang pensiun

Pertama, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, dua karyawan swasta yang menggugat penerapan pajak progresif pada pesangon dan uang pensiun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam permohonan perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025, mereka mengajukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU PPh yang menetapkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak mencakup pesangon dan pensiun, serta Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP yang memberlakukan tarif progresif atas pesangon dan pensiun.

"Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif," ujar Ali Mukmin selaku kuasa hukum para pemohon dalam sidang perdana, Senin (6/10), seperti dikutip dari situs MK.

Para pemohon menilai pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang telah keliru memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis. Menurut mereka, pesangon merupakan tabungan dari potongan gaji dan bentuk penghargaan atas pengabdian karyawan.

Atas dasar itu, para pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan konstitusi, terlebih dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh sebagaimana telah diubah melalui UU HPP itu bertentangan dengan konstitusi. Para Pemohon juga memohon agar ketentuan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, Tabungan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT).

Selain itu, mereka meminta Mahkamah memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas keempat komponen tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun swasta, serta memerintahkan pembentuk undang-undang menyesuaikan sistem perpajakan agar sejalan dengan UUD 1945.

Usai sidang perdana, Ketua MK Suhatoyo yang memimpin jalannya persidangan  menyatakan pihaknya memberikan waktu 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonan, dengan batas akhir Senin, 20 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.

Skema pencairan dana tak dibayar sekaligus digugat

Dalam permohonan yang lain, sejumlah pemohon yang juga karyawan swasta dan pensiunan karyawan swasta menggugat skema dana pensiun yang tak dibayar sekaligus (lump sum).

Gugatan itu dilayangkan delapan pemohon di antaranya Lukas Saleo, Warjito, Haeruddin Fallah yang merupakan para pekerja di PT Freeport Indonesia, pekerja dan mantan pekerja PT Kuala Pelabuhan Indonesia, dan pekerja di PT Unilever Indonesia.

Mereka meminta MK menguji materi ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.

Dalam sidang perdana pada 24 September lalu, Kuasa hukum para pemohon, Zen Mutowali mengatakan aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus.

Dia menyatakan para Pemohon memiliki kerugian bersifat nyata dan spesifik. Bagi pemohon yang masih dalam masa bakti (masih bekerja) berpotensi dirugikan sebab tidak bisa mengambil manfaat pensiun secara lump sum saat pensiun nanti.

Sementara salah satu pemohon  yang telah pensiun sejak 1 Desember 2024 sudah dirugikan karena tidak menerima hak pensiun lump sum sampai saat ini.

"Keberlakuan objek Permohonan tersebut di atas merupakan aturan yang memiliki kesamaan substansi dan menyebabkan kerugian atau potensi kerugian hak konstitusional para pemohon, karena para pemohon tidak mendapatkan manfaat pensiun secara sekaligus (lump sum) padahal manfaat pensiun tersebut bersifat tambahan (complement) yang sejak awal kepesertaan merupakan pilihan sukarela para Pemohon sebagai pekerja dan merupakan hak milik para Pemohon sebagai individu warga negara yang tidak boleh dikurangi oleh negara," katanya dalam sidang perdana seperti dikutip dari laman MK.

Kemudian, Para Pemohon memandang aturan dalam Pasal 164 ayat (1) huruf d dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK yang membatasi pencairan manfaat pensiun maksimal 20 persen sekaligus, berlawanan dengan prinsip perlindungan hak warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945

Dalam agenda sidang selanjutnya untuk perkara Nomor 164/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (7/10), kuasa hukum pemohon menegaskan  Dana Pensiun memiliki karakteristik berbeda dengan Jaminan Pensiun walaupun sama-sama menggunakan istilah 'pensiun'.

"Program Jaminan Pensiun yang bersifat wajib (mandatory) berbeda dengan program Dana Pensiun Pelengkap yang bersifat sukarela (complementary). Oleh karena itu, keduanya tidak dapat dipersamakan dan harus diperlakukan berbeda sebagaimana ditunjukkan dalam tabel," ujar kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Fandrian Hadistianto merespons saran perbaikan dari hakim konstitusi.

(nat/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |