Jakarta, CNN Indonesia --
Belakangan ini, fenomena sound horeg menjadi sorotan di sejumlah wilayah, terutama di Jawa Timur.
Aksi arak-arakan keliling kampung dengan sistem audio berdaya tinggi ini tak hanya memicu pro dan kontra soal estetika, tapi juga menimbulkan kekhawatiran dari sisi kesehatan, khususnya pada pendengaran.
Sound horeg merujuk pada sistem audio yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk menghasilkan suara sangat keras dan bertenaga. Biasanya, sistem ini diangkut menggunakan kendaraan bak terbuka dan diiringi dengan musik yang diputar nyaring sepanjang rute pawai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suasana pun memang jadi semarak. Namun, risiko yang mengintai tidak bisa dianggap remeh.
Dokter spesialis telinga, hidung, tenggorok, bedah kepala, dan leher dari RS Pondok Indah Bintaro Jaya, Ashadi Budi menjelaskan bahwa sound horeg sangat berisiko merusak pendengaran.
"Apakah itu berisiko untuk merusak pendengaran? Ya, artinya pendengaran kita itu kalahnya itu dengan suara yang keras dan lama," kata Ashadi dalam temu media di Jakarta, Selasa (29/7).
Menurut Ashadi, paparan suara keras dalam durasi panjang adalah dua faktor utama yang memicu kerusakan sistem pendengaran.
"Jadi, semakin keras suara kita dengarkan dan semakin lama, akan berisiko merusak pendengaran. Dan jangan salah, kerusakan pendengarannya bisa permanen, jadi bukan kerusakan pendengaran yang beberapa saat aja," kata dia.
Artinya, pendengaran yang terganggu akibat paparan sound horeg tidak selalu bisa kembali normal. Dalam banyak kasus, justru bersifat seumur hidup.
Meski bisa merusak pendengaran, Ashadi menegaskan bahwa suara keras dari sound horeg tidak sampai menyebabkan gendang telinga robek.
"Kalau robek [gendang telinga], sih, enggak," ujarnya.
Ilustrasi. Sound horeg bisa berbahaya buat kesehatan telinga manusia. (iStock/Kamonwan Wankaew)
Gendang telinga atau membran timpani adalah lapisan tipis yang berfungsi menerima gelombang suara dan meneruskannya ke bagian dalam telinga. Bila lapisan ini mengalami perforasi atau robek, maka berbagai gejala akan muncul, seperti:
- penurunan atau kehilangan pendengaran,
- telinga berdenging (tinnitus),
- keluarnya cairan dari telinga,
- nyeri tajam yang muncul mendadak,
- sensasi berputar (vertigo),
- pusing,
- mual atau muntah akibat vertigo.
Ashadi menjelaskan, lubang pada gendang telinga lebih sering disebabkan oleh infeksi telinga kronis, cedera langsung (trauma), atau barotrauma, yakni cedera akibat perubahan tekanan udara yang mendadak, misalnya saat menyelam atau naik pesawat.
"Perforasi membran timpani dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan pendengaran, risiko infeksi berulang, hingga gangguan dalam berkomunikasi. Hal-hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup," jelasnya.
(tis/asr)