PM Perempuan Pertama Jepang Takaichi Dinilai Bukan Pembela Feminis

5 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Sanae Takaichi menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang usai berhasil mengantongi 237 suara melalui voting di parlemen pada hari ini, Selasa (21/10).

Keberhasilan itu membuat sejumlah pihak terkejut lantaran beberapa sempat menduga pemungutan suara berlanjut ke putaran kedua karena tak mencapai ambang batas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberhasilan itu pula mencatat sejarah di negeri yang secara historis menganut sistem patriarki dengan norma gender yang mengakar kuat.

Saat perdana menteri, dan anggota parlemen dikuasai cucu atau cicit politikus laki-laki, Takaichi berhasil menaiki tangga politik dengan identitas perempuan tanpa koneksi atau relasi keluarga. Upaya ini agaknya perlu dihormati.

Namun, kemenangan Takaichi mungkin tak dirayakan kelompok feminis di Negeri Sakura. Mengapa demikian?

Profesor studi Asia dan sejarah dari Temple University Tokyo, Jeff Kingston, sempat mengatakan popularitas Takaichi di dunia politik tak serta merta membawa masa depan yang lebih cerah bagi perempuan.

"Dia tak punya rekam jejak yang sangat positif dalam isu gender, kebijakan ramah keluarga, dan pemberdayaan perempuan," kata Kingston, dikutip TIME pada awal Oktober.

Sebagai tokoh yang berasal dari partai sayap kanan, Kingston memandang ada penekanan kuat dan konservatif dalam nilai keluarga dan sosial yang dianut Takaichi.

Takaichi dikenal sebagai sosok konservatif. Dia menentang pernikahan sesama jenis dan gerakan yang menyuarakan perizinan pasangan menikah menggunakan nama keluarga berbeda, dikutip dari CNN.

Takaichi memandang reformasi tersebut bisa menghancurkan struktur sosial yang berbasis "unit keluarga".

Dia juga terkenal menolak hukum suksesi kekaisaran patrilineal Jepang. Takaichi bahkan memandang seruan tersebut sebagai upaya penghancuran hukum.

Di luar itu, Takaichi pernah berusaha menarik dukungan dari kelompok perempuan moderat saat kampanye. Ketika itu, dia menjanjikan pengurangan pajak sebagian untuk mengasuh anak dan insentif pajak bagi perusahaan yang menyediakan pengasuhan anak di tempat kerja.

Namun, para ahli mewanti-wanti janji itu demi kepentingan elektoral dia, tak lebih.

"Mungkin dia sempat merenungkan masa lalu dan memutuskan untuk mengubah dirinya, tetapi saat orang tiba-tiba membuat perubahan selama kampanye, orang mungkin bersikap skeptis," kata Kingston.

Profesor ilmu politik di Universitas Nagoya, Hiroko Takeda, bahkan menyamakan kepemimpinan Takaichi dengan mendiang eks PM Shinzo Abe.

Selama masa jabatan pertama Abe, Takaichi menjabat beberapa posisi strategis salah satunya menangani kesetaraan gender dan angka kelahiran. Namun, saat itu, dia menggunakan pendekatan tradisionalis dalam menerapkan kebijakan.

"Saya rasa dengan Takaichi menjadi presiden LDP, esensinya adalah politik LDP ala Abe yang sangat konservatif, terutama dalam hal budaya dan tradisi," ujar Takeda.

Sebelum naik jadi PM, Takaichi terlebih dahulu menang dalam pemilihan pemimpin partai LDP pada awal Oktober.

Pergantian pemimpin di partai terjadi usai PM saat ini Shigeru Ishiba mundur karena sederet masalah dan krisis kepercayaan publik.

Profesor yang fokus di kajian politik dan gender Universitas Tokai, Yuki Tsuji, juga punya penilaian serupa. Meski, Takaichi memimpin LDP, kebijakan yang ada tak akan berbeda dari pendahulunya.

"[Takaichi] tak tertarik dengan hak-hak perempuan atau kebijakan kesetaraan gender," kata dia, dikutip AFP.

Tsuji juga mengatakan makna simbolis keterpilihan dia sebagai perdana menteri perempuan cukup tinggi. Takaichi punya tekanan sekaligus ekspektasi dari masyarakat.

"[Jika gagal] ini bisa menumbuhkan persepsi negatif terhadap perdana menteri perempuan," ujar dia.

(isa/bac)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Entertainment |