Rumah Subsidi 18 M2, Antara Janji Papan Murah-Ruang Kosong Kemanusiaan

8 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait alias Ara mengeluarkan wacana memperkecil ukuran rumah subsidi hingga 18 meter persegi.

Wacana itu dia sampaikan sebagai solusi perumahan di perkotaan. Dia bilang generasi muda ingin rumah yang dekat dengan tempat kerja atau di tengah kota.

Tapi di tengah keinginan itu, mereka dihadapkan pada harga tanah di kota yang terlampau mahal. Oleh karena itu, dengan mengecilkan ukuran rumah subsidi, dia berharap bisa menekan harga hunian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya berwacana. Ara dan anak buahnya pun mengkaji ukuran rumah subsidi menjadi 25 meter persegi untuk luas tanah dan 18 meter persegi untuk luas bangunan.

Lippo Group, salah satu pengembang yang mendukung ide itu, mengirimkan mockup yang bahkan memperkecil rumah hingga 14 meter persegi.

"Masak enggak akomodir anak-anak kita, adik-adik kita yang milenial? Coba lihat sekarang, hotel lagi ada banyak hotel kapsul kan? Yang kecil kan? Ya, masa negara tidak mengakomodir keinginan ini?" ucap Ara pada acara di Plaza Semanggi, Jakarta, Kamis (12/6).

James Riady, CEO Lippo Group, menaksir rumah mungil yang mereka desain bisa dijual pada harga Rp100 juta hingga Rp140 juta. Meski begitu, harga itu masih jauh dari tengah kota Jakarta.

"Dengan harga yang kemarin kita sampaikan itu, ada di koridor timur, Cikampek, Purwakarta. Kalau di Bogor mungkin di daerah kabupatennya. Di area-area Tangerang," kata Head of Project Management PT Lippo Karawaci Fritz Atmodjo di Lobi Nobu Bank, Lippo Mall Nusantara, Jakarta, Senin (16/6).

Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia Georgius Budi Yulianto menilai rumah subsidi berukuran 14 meter persegi ataupun 18 meter persegi tidak manusiawi.

Dia beralasan rumah dengan ukuran itu tidak memenuhi berbagai standar yang ada. Misalnya, standar UN Habitat yang menyarankan ruang hijau publik dan semi-publik perkotaan minimum 9 meter persegi per penduduk.

Ukuran itu juga tidak memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga soal standar ruang terbuka hijau yang bisa diakses publik. WHO menetapkan minimal 10 meter persegi per orang.

Selain itu, ada Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2017 tentang Standar Teknis Rumah Sederhana Sehat yang berpotensi dilanggar. Dalam regulasi itu, batas luas minimal per orang di hunian 7,2 meter persegi.

"Dalam luas tersebut (14 dan 18 meter persegi), ruang gerak manusia sebagai makhluk sosial dan fisik menjadi begitu terbatas, bahkan tidak mencapai standar minimum hunian layak," ujarnya.

"Dalam jangka panjang, ketimpangan spasial ini dapat menciptakan bentuk-bentuk baru dari kohesi sosial yang agresif, di mana manusia tidak hanya kekurangan ruang untuk hidup, tapi juga kehilangan ruang untuk menjadi manusia," ucap Georgius saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (17/6).

Dia mengingatkan manusia adalah makhluk sosial dan fisik. Manusia perlu ruang yang cukup untuk bertumbuh dan berinteraksi.

Menurutnya, rumah yang terlalu kecil akan menciptakan tekanan psikologis dan sosial. Ruang yang terlalu padat mendorong gesekan antaranggota keluarga, mempertinggi stres, dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Georgius meminta pemerintah menimbang ulang rencana itu. Dia paham Indonesia dihadapkan persoalan banyaknya masyarakat yang belum punya rumah. Namun, dia meminta pemerintah tetap memanusiakan manusia.

[Gambas:Video CNN]

"Ketika standar ruang hidup direndahkan demi mengejar angka, kita berisiko membangun kota yang rapat bangunan, tapi kosong kemanusiaan," ujarnya.

Terpisah, Kepala Departemen Riset Colliers Indonesia Ferry Salanto juga tak sepakat dengan ide memperkecil ukuran rumah subsidi menjadi 18 meter persegi atau 14 meter persegi.

Dia khawatir kebijakan ini justru membuat makin banyak rumah subsidi yang tidak laku. Ferry berkata rumah sekecil itu lebih layak untuk kos-kosan. Orang yang sudah berkeluarga hampir pasti tidak mau membelinya.

"Dengan luasan segitu kan kayak di apa ya kayak di penjara gitu ya, secara psikologis manusia itu ruangan segitu kecilnya itu enggak sehat mentalnya. Kita memang enggak bisa cuma kasih solusi tanpa dikaji lebih dalam," ucap Ferry.

Dia menilai memperkecil ukuran rumah subsidi bukan solusi atas harga perumahan di kota yang tinggi. Menurutnya, solusi terbaik adalah mengubah rumah tapak menjadi rumah vertikal.

Dia mencontohkan membangun rumah subsidi di Jakarta. Harga bahan bangunan dan biaya pembangunan masih mirip dengan daerah lain.

Meskipun begitu, harga rumah di Jakarta jauh lebih mahal dibandingkan daerah lain. Hal itu disebabkan harga tanah di ibu kota yang sudah selangit.

Georgius pun meragukan bila harga rumah subsidi di Jakarta bisa masuk ke rentang Rp166 juta-Rp182 juta seperti di aturan perundangan bila ukuran rumah ditekan ke 18 meter persegi.

"Kalau pakai tanah swasta, sudah pasti enggak masuk. Tapi kalau pakai tanah pemerintah yang tidak terpakai, mungkin masih bisa di harga segitu," ujarnya.

"Kalau ada tanahnya pun lebih baik dibuat hunian vertikal. Mau bagaimana lagi, solusi yang paling masuk akal sekarang rumah vertikal," tutur Ferry.

Selain karena alasan harga, rumah vertikal seperti apartemen dan rusun juga menjadi solusi atas kebutuhan ruang. Dia berkata rumah vertikal bisa saja dibuat dengan ukiran 14 atau 18 meter persegi.

Meski begitu, kebutuhan ruang tetap bisa terpenuhi. Hal itu karena ada ruang publik yang bisa dimanfaatkan bersama, seperti taman, lorong, ataupun lapangan.

"Misal, kalau dia untuk terima tamu, oke lah jangan di unit apartemen mereka, tapi terima tamunya di bawah. Itu lebih manusiawi dibandingkan landed yang ukurannya cuma segitu," kata Ferry.

(agt)

Read Entire Article
Entertainment |