Bandung, CNN Indonesia --
Massa mengatasnamakan Forum Santri Nusantara (Bandung Raya) menggeruduk rumah Anggota Komisi VIII DPR Atalia Praratya yang juga istri eks Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) di Ciumbuleuit, Kota Bandung, Jabar, Selasa (14/10).
Aksi massa itu dilakoni imbas pernyataan Atalia yang menyoroti penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun kembali fasilitas Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur.
Dalam aksinya, massa menuntut agar Atalia dipecat sebagai anggota DPR RI. Mereka menuding pernyataan itu dinilai tidak sensitif terhadap para korban dan mencederai perasaan komunitas santri di seluruh Indonesia. Mereka menuding pernyataan Atalia bentuk ketidakpekaan moral dan kegagalan memahami peran konstitusional negara terhadap lembaga pendidikan agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menyampaikan duka mendalam atas musibah di Pondok Pesantren Al Khoziny yang menelan korban jiwa para santri. Namun kami juga menyesalkan pernyataan Ibu Atalia yang menyoroti rencana penggunaan APBN untuk membangun kembali pesantren tersebut. Sikap itu tidak konstruktif secara kebijakan dan berpotensi menimbulkan stigma negatif terhadap pesantren," ujar salah seorang orator, yang tengah menyampaikan orasinya tengah-tengah aksi di depan rumah keluarga RK itu.
Massa aksi menilai pandangan politikus Golkar itu diskriminatif terhadap lembaga keagamaan. Mereka menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
"Penggunaan APBN bukanlah hadiah, tetapi tanggung jawab negara terhadap warga yang menjadi korban bencana," kata salah satu orator aksi.
Selain itu mereka menilai pernyataan Atalia melukai perasaan umat Islam. Forum Santri Nusantara juga menuding Atalia gagal menjalankan fungsi pengawasan sebagai anggota DPR.
Menurut mereka, seharusnya Atalia fokus pada pengawasan audit teknis dan transparansi anggaran, bukan memperkeruh ruang publik.
Koordinator aksi, Riki Ramdan Fadila, menyebut gerakan ini lahir dari rasa solidaritas dan keresahan para santri terhadap pandangan yang dinilai merugikan dunia pesantren.
"Aksi hari ini adalah bentuk solidaritas terhadap Pesantren Al Khoziny, yang sedang dipertaruhkan legalitasnya oleh negara. Pernyataan yang muncul dari legislatif telah membentuk opini seolah-olah terjadi pelanggaran berat di tubuh pesantren tersebut. Ini menciptakan pandangan buruk terhadap pesantren di mata masyarakat," ujar Riki saat diwawancarai di lokasi aksi.
Menurutnya dugaan pelanggaran di Pesantren Al Khoziny, tidak seharusnya digeneralisasi hingga mencoreng nama pesantren secara nasional. Ia juga menyinggung adanya ketidakadilan dalam sorotan publik.
"Kalau bicara soal pelanggaran berat, apa kabar dengan tragedi Kanjuruhan [Tragedi Kanjuruhan di Malang Jatim]? Apa kabar pelanggaran HAM yang belum terselesaikan? Apa kabar kasus-kasus korupsi? Hal-hal besar itu seringkali tak ditindak tegas, tapi mengapa pesantren justru yang menjadi sasaran?" katanya.
Riki menegaskan pihaknya tidak bermasalah dengan latar belakang politik maupun jabatan Atalia, namun menilai pernyataannya bersifat sensitif terhadap komunitas pesantren.
Sebelumnya, Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Golkar, Atalia Praratya, mendesak pemerintah mengkaji ulang penggunaan dana APBN untuk memperbaiki Ponpes Al Khoziny, Sidoarjo. Atalia menilai mekanisme penggunaan APBN harus jelas dan adil.
Atalia menilai rencana penggunaan APBN untuk membangun ulang Ponpes Al Khoziny saat ini belum menjadi keputusan final. Sebab itu, katanya, pemerintah harus mengkaji secara hati-hati.
(csr/kid)