Jakarta, CNN Indonesia --
Material radioaktif Cesium-137 (Cs-137) ditemukan di kawasan industri di Cikande, Kabupaten Serang, Banten.
Awalnya, paparan radioaktif itu diketahui usai penolakan produk udang beku Indonesia oleh otoritas Amerika Serikat di sejumlah pelabuhan besar, termasuk Los Angeles, Houston, Savannah, dan Miami.
Pemeriksaan pihak Food and Drug Administration (FDA) serta Bea Cukai AS mendeteksi kandungan radiasi pada kontainer udang pada Agustus 2025, sehingga memicu respons cepat Pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Investigasi berlanjut hingga ke dalam negeri. Hasil penelusuran membawa tim gabungan ke Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang. Di tempat pengumpulan logam bekas, ditemukan material yang positif mengandung Cs-137.
Penemuan ini menjadi titik balik yang menunjukkan bahwa sumber paparan radiasi bukan berasal dari tambak atau laut, melainkan berakar pada aktivitas industri logam di daratan.
Dari ekspor udang hingga besi bekas
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) mengonfirmasi bahwa scrap metal yang diamankan di Serang terkontaminasi zat radioaktif.
Deputi Perizinan dan Inspeksi Bapeten, Zainal Arifin, menjelaskan temuan tersebut berawal dari investigasi terhadap produk udang beku PT Bahari Makmur Sejati yang ditolak Amerika.
Penelusuran kemudian diarahkan ke kawasan industri. Menurut Bapeten, Cs-137 adalah zat buatan yang digunakan di dunia industri, antara lain untuk alat ukur kepadatan dan aliran.
Zat ini tidak terbentuk secara alami di lingkungan, sehingga jelas bahwa kontaminasi berasal dari peralatan atau limbah industri.
Direktur Inspeksi Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif Bapeten, Zulkarnain, menyebut sebagian material berbahaya sempat digunakan warga tanpa mengetahui risikonya. Sisa material radioaktif ditemukan dijadikan campuran pondasi bangunan.
Padahal Cs-137 termasuk kategori radiasi pengion yang berbahaya bagi kesehatan dalam jangka panjang.
Tim gabungan melakukan penyisiran hingga radius 20 meter dari lokasi penemuan. Sejumlah sampel diambil, dan hasil pengukuran menunjukkan adanya titik tambahan dengan paparan radiasi tinggi. Untuk mencegah risiko lebih luas, perimeter keamanan segera dipasang di sekitar lokasi.
Temuan ini menguatkan dugaan adanya lepasan zat radioaktif dari aktivitas industri peleburan logam di kawasan tersebut.
Jejak penyebaran Cesium-137
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), dalam laman resminya yang diperbarui 6 Februari 2025, menjelaskan bagaimana Cs-137 dapat berpindah di lingkungan dan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang.
EPA menyebut, Cs-137 yang terikat dengan klorida akan membentuk bubuk kristalin yang bereaksi mirip garam dapur.
Zat ini mudah bergerak melalui udara, larut dalam air, dan melekat kuat pada tanah maupun beton, meski tidak menyebar jauh ke bawah permukaan. Vegetasi yang tumbuh di tanah terkontaminasi bisa menyerap Cs-137 dalam jumlah kecil.
Kondisi inilah yang membuat zat tersebut berpotensi menyebar ke rantai pangan, termasuk ke sektor perikanan yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia.
Di alam, jejak Cs-137 umumnya berasal dari uji coba senjata nuklir maupun kecelakaan reaktor nuklir. Meski dalam kondisi normal jumlahnya kecil, kasus temuan di Serang menegaskan risiko kebocoran atau penyalahgunaan bahan radioaktif di luar kendali nuklir sipil.
Secara fungsional, Cs-137 memiliki banyak kegunaan. Dalam skala kecil, zat ini dipakai untuk kalibrasi alat pendeteksi radiasi, termasuk Geiger-Mueller counter (alat yang mendeteksi dan mengukur radiasi pengion, seperti partikel alfa, beta, dan sinar gamma).
Dalam jumlah lebih besar, Cs-137 digunakan dalam perangkat terapi radiasi medis untuk pengobatan kanker, serta pada industri untuk mengukur aliran cairan dalam pipa atau ketebalan bahan seperti kertas dan lembaran logam.
Bahaya kesehatan muncul ketika Cs-137 terlepas dari kendali. EPA menegaskan, paparan eksternal dosis tinggi dapat menimbulkan luka bakar radiasi, penyakit radiasi akut, bahkan kematian.
Skenario terburuk bisa terjadi akibat kecelakaan besar atau salah penanganan sumber industri berkekuatan tinggi.
Lebih jauh, radiasi gamma dari Cs-137 meningkatkan risiko kanker. Jika masuk ke tubuh melalui makanan, minuman, atau udara terkontaminasi, Cs-137 akan tersebar ke jaringan lunak, terutama otot.
"Kondisi ini meningkatkan potensi kanker karena paparan energi radiasi dalam tubuh berlangsung dari waktu ke waktu," demkikan menurut EPA.
Dekontaminasi dan penegakan Hukum
Pemerintah merespons cepat dengan langkah dekontaminasi darurat. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menjelaskan, material berbahaya dipindahkan ke PT Peter Metal Technology (PMT) sebagai lokasi penampungan sementara sebelum dipindahkan ke fasilitas penyimpanan jangka panjang.
Lebih dari 7 kuintal material berhasil dievakuasi dengan tingkat radiasi yang awalnya 0,3-0,5 mikrosievert (µSv) per jam, turun menjadi 0,04 µSv/jam, setara kondisi normal.
Meski begitu, pembersihan menyeluruh masih diperlukan untuk memastikan tidak ada serpihan kecil yang tertinggal. Pemeriksaan kesehatan terhadap warga sekitar pun dipersiapkan, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan RS Fatmawati.
Kasus ini sekaligus menyoroti aspek hukum dan regulasi. Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan limbah radioaktif adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar.
Deputi Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Irjen Pol Rizal Irawan, menegaskan bahwa pengawasan tidak hanya berhenti pada satu perusahaan, tetapi juga meluas ke pengelola kawasan industri dan perusahaan terkait lainnya.
Ia menekankan bahwa korporasi yang terbukti sengaja melanggar aturan akan dikenakan sanksi pidana.
Rizal juga menjelaskan, penyegelan yang dilakukan di PT PMT merupakan bagian dari upaya mencegah risiko pencemaran lebih lanjut.
Garis pejabat pengawas lingkungan hidup dipasang untuk menghentikan potensi risiko sekaligus melindungi kesehatan masyarakat dan pekerja.
KLH memastikan penegakan hukum ditempuh melalui jalur pidana maupun perdata. Bareskrim Polri menangani aspek pidana lingkungan, sementara kerugian lingkungan menjadi fokus penyelidikan perdata.
Rizal juga menegaskan bahwa kepatuhan industri terhadap regulasi bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi instrumen perlindungan publik.
Pemerintah tidak akan menoleransi praktik industri yang membahayakan keselamatan masyarakat dan lingkungan.
Kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi industri logam dan sektor terkait untuk senantiasa mematuhi standar keselamatan; ini menjadi alarm keras bahwa pengawasan limbah radioaktif harus diperketat di tengah pesatnya pertumbuhan industri.
Dari udang beku yang ditolak di pelabuhan Amerika hingga scrap metal yang diamankan di Cikande, semuanya menegaskan rapuhnya rantai pengawasan terhadap zat berbahaya.
(antara/isn)