Review Film: Pembantaian Dukun Santet

8 hours ago 5

img-title Endro Priherdityo

Film ini mengecewakan setidaknya pada dua hal, penuturan dan penggarapan cerita, serta konteks latar budayanya.

Jakarta, CNN Indonesia --

Saya tak mau bertele-tele, Pembantaian Dukun Santet membuat saya kecewa setidaknya pada dua aspek, yakni penuturan dan penggarapan cerita, serta konteks soal latar budaya di dalamnya.

Terkait aspek pertama, penuturan dan penggarapan cerita, film ini punya naskah yang berantakan. Penuturan yang tak mengalir, fokus cerita yang terpecah, hambar, hingga pesan yang tak sampai kepada penonton.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aura Gemintang, Baskoro Adi Wuryanto, dan JeroPoint sebagai penulis cerita tampak kebingungan bagaimana mengembangkan ceria horor berlatar sejarah kelam yang terjadi di Banyuwangi pada 1998 ini.

Ketiganya bagai punya konflik internal dari mana horor harus dimulai, bagaimana logika ceritanya berjalan, hingga konflik-konflik yang terjadi bisa terhubung. Kesulitan seberat itu harus ditambah dengan ambisi menghasilkan horor yang menegangkan lewat berbagai penampakan dan jumpscare.

Akhirnya, solusi paling mudah yang diambil: perbanyak jumpscare. Walaupun tumpul.

Selama satu setengah jam, saya merasa aspek cerita utama hanya berdurasi kumulatif tak sampai 30 menit. Itu pun tercecer tak beraturan sepanjang film, di mana penonton dipaksa untuk terus bertanya "apa yang sebenarnya terjadi?" dan "apaan sih?", dan bukan "apa yang terjadi selanjutnya?"

Pembantaian Dukun Santet tayang di Bioskop pada 8 Mei 2025.Review Pembantaian Dukun Santet: Gelagat plot twist bahkan sebenarnya sudah terlihat sejak awal cerita. Terlalu terlihat bahkan, karena menyisakan dua jawaban pada benak penonton. (dok. MD Pictures/Pichouse Films via IMDb)

Jujur saja, terus mempertanyakan dua pertanyaan awal itu selama lebih dari separuh awal film ini sangatlah melelahkan. Hingga kemudian cerita tampaknya sampai ke klimaks usai mendaki gunung, melewati lembah, membelah hutan penuh mayat, barulah inti cerita terungkap.

Namun, trio penulis tampaknya punya stok pengembang berlebih dan kemudian menuangkannya ke adonan cerita dengan penuh semangat, yakni membawa penonton ke kisah yang sebenarnya diniatkan sebagai plot twist, yang sayangnya tidak semengagetkan itu.

Gelagat plot twist itu bahkan sebenarnya sudah terlihat sejak awal cerita. Terlalu terlihat bahkan, karena menyisakan dua jawaban pada benak penonton, "ya kalau bukan dia pelakunya, ya yang satu lagi." Sudahlah kotak misteri bisa ditebak sejak awal, berbagai teror dalam film ini juga tidak menimbulkan gereget.

Azhar Kinoi Lubis selaku sutradara jelas tak banyak membantu dengan naskah mentah tersebut. Kinoi justru terlihat ikut tersesat dengan cerita yang hambar dan kasar itu.

Kinoi juga agaknya lebih fokus pada aspek teknis dan sajian visual alih-alih memperhatikan apakah alur ceritanya sudah ajeg. Beruntungnya, Kinoi memiliki tim produksi yang ulet dan lokasi syuting yang sebetulnya indah walaupun kemudian dirusak oleh keputusan visual Kinoi.

Salah satu keputusan Kinoi yang saya kritisi adalah tone warna film ini. Saya sebenarnya bingung dan hampir frustrasi melihat para pembuat film Indonesia, terutama horor, gemar sekali bermain dengan tone berlebihan. Entah pelit nilai brightness atau menggunakan filter warna secara berlebihan.

Begitu pula dengan Pembantaian Dukun Santet. Saya paham bila cerita dilatarkan terjadi pada masa lalu, tapi apakah kemudian tone warnanya harus pucat dan kuning? Tidak bisakah dibuat lebih lembut dan banyak bermain dengan gaya pakaian dan desain produksi?

[Gambas:Youtube]

Ada banyak film yang berlatar di masa lalu dan tidak melulu bermain dengan filter kuning, yang tidak membuat langit biru menjadi kuning bagai POV orang demam, atau gelap malam menjadi keabu-biruan karena lighting.

Kinoi juga tampaknya kurang memberikan arahan akting pada para pemain, yang membuat para pemain tidak bisa mengeluarkan kemampuan mereka secara optimal. Aurora Ribero dan Kevin Ardilova adalah yang paling terlihat dalam kasus ini.

Untuk dua aktor pemenang penghargaan tersebut, mestinya peran mereka dalam film ini bukan hal yang sulit. Namun entah mengapa, keduanya berakting secara tak padu dan macam amatiran. Padahal peran mereka terbilang penting walaupun tampak agak terabaikan untuk dibahas atau ditunjukkan dengan maksimal dalam cerita.

Saya cuma melihat satu pemain yang berakting cukup santai dalam film ini, yakni Teuku Rifnu Wikana. Namun penampilan aktor teater dalam film ini pun sebenarnya bukan yang terbaik, bahkan tak sampai separuh usaha yang ia keluarkan dalam Di Ambang Kematian (2023).

Fakta bahwa Di Ambang Kematian dan Pembantaian Dukun Santet sama-sama digarap oleh Kinoi berdasarkan cerita JeroPoint inilah yang membuat mood saya semakin turun.

Kekecewaan saya lainnya adalah terkait dengan latar budaya dalam film ini. Saya tidak paham mengapa tim produksi memasang disclaimer di awal yang menyatakan kesamaan di luar cerita hanyalah kebetulan, padahal menggunakan dasar cerita dari sebuah insiden faktual di Banyuwangi dan ada properti dalam film yang menegaskan hal itu. Bukankah disclaimer ini jadi sebuah kontradiktif?

Pembantaian Dukun Santet tayang di Bioskop pada 8 Mei 2025.Review Pembantaian Dukun Santet: Peran Aurora Ribero dan Kevin Ardilova terbilang penting walaupun tampak terabaikan untuk dibahas atau ditunjukkan dengan maksimal dalam cerita. (dok. MD Pictures/Pichouse Films via IMDb)

Bila memang sedari awal film ini tidak bermaksud menggunakan latar sejarah tersebut, ada baiknya tidak menggunakan judul yang mengarah ke insiden faktual itu dan seluruh properti juga sebaiknya tidak merujuk pada identitas daerah yang dimaksud.

Namun bila memang mengakui didasarkan pada pembantaian massal yang masih berselimutkan misteri itu, sebaiknya rumah produksi dan sineas mengakui dan memperbaiki disclaimer yang ditaruh di awal film.

Selain itu, jika rumah produksi mengakui menggunakan insiden tersebut sebagai latar cerita, berbagai pengembangan cerita dalam film ini pun sebenarnya sah-sah saja atas nama kreativitas, walaupun dari sudut pandang ilmiah kebudayaan ada kekeliruan.

Menurut saya, sejarah kelam itu sangat menarik dan penting untuk diangkat dalam layar lebar. Momentum tersebut juga bisa menggambarkan salah satu fenomena satanic panic yang pernah ada di Indonesia, bagaimana sebuah kultus menimbulkan histeria massal dan tragedi, terlepas dari berbagai konspirasi dan teori yang timbul terkait penyebab sejarah kelam itu.

Mungkin ini bisa jadi pembelajaran bagi rumah produksi, produser, dan sineas Indonesia ke depannya untuk bisa lebih jujur dan berani dalam mengangkat kisah-kisah dalam masyarakat Indonesia. Ada berbagai tragedi dalam riwayat sosial Indonesia yang patut untuk dikisahkan kembali agar tak terlupakan.

Kalaupun memang ingin bermain aman, maka penting bagi rumah produksi untuk berani mengembangkan kreativitasnya supaya tetap terlihat sebagai sebuah cerita fiksi tapi tetap beresonansi dengan kejadian yang diketahui.

Namun para sineas, terutama produser, juga harus tulus dan serius dalam mengangkat kisah tersebut dan bukan cuma melulu berorientasi pada efisiensi produksi guna mencapai profit maksimum. Toh masyarakat juga mulai cerdas untuk menentukan film mana yang layak didukung bertahan lama di bioskop, dan mana yang sebaiknya cepat-cepat turun.

[Gambas:Video CNN]

(end)

Read Entire Article
Entertainment |