Abhimanyu Rizki Prakasa dan teman-temannya bersorak melihat mobil box pembawa menu makan bergizi gratis (MBG) tiba di sekolah mereka di SD Negeri 2 Keragilan, Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah siang itu.
Siswa kelas 6 ini senang bukan kepalang. Pasalnya perutnya sudah keroncongan setelah pelajaran praktik olahraga. Sarapan nasi, lauk tempe goreng dan sambal tomat tadi pagi, sudah tak terasa.
Ia tak perlu menahan lapar untuk bisa makan di rumah saat pulang setelah ada MBG di sekolah. Bhima langsung menyantap menu makanan bergizi itu. Maklum, uang jajan yang diberikan ibunya tak seberapa, tak cukup untuk beli makanan mengenyangkan.
Menu MBG siang itu memang tak mewah-mewah amat. Namun sangat disukainya. Nasi, telur ceplok kecap, sayur wortel-labu siam, tempe kari, serta jeruk langsung dilahapnya.
Bhima, panggilan Abhimanyu, mengatakan sebelum ada MBG, usai pelajaran olahraga, ia kerap mengantuk di kelas. Penyebabnya, perut keroncongan. Energi seolah habis usai olahraga.
“Setelah ada MBG saya belajar lebih fokus, tidak ngantuk di kelas dan lebih semangat,” kata Bhima.
Antusiasme juga terlihat di SDN Kali Rungkut 1, Surabaya, Jawa Timur. Siswa-siswa estafet membawa ompreng berisi menu MBG dari mobil box. Usai cuci tangan dan berdoa, mereka menyantap bersama menu ayam kecap, capcay, dan tempe.
Fathia salah satu siswa mengaku senang sekali dengan menu MBG ini. Kenyang dan tentu saja sehat jadi alasan utama. Fathia mengaku selalu menghabiskan menu MBG yang diterimanya. Ia bahkan menyebut para pekerja yang menyiapkan menu-menu ini sebagai pejuang.
“Pejuang MBG sudah bangun pagi-pagi, masaknya banyak. Saya menghargai dengan menghabiskan makanan,” kata Fathia.
Siswa yang lain, Eza mengatakan untuk menghindari makanan tak layak makan, siswa diminta mencicipi makanan dan memeriksa sebelum mengonsumsinya.
“Diicip-icip dulu, diperiksa ada serangganya atau tidak,” kata Eza. Menurutnya hal ini untuk menghindari keracunan.
Tahun pertama pelaksanaan program MBG tak terlepas dari berbagai tantangan, terutama soal kelayakan menu. Namun, tekad untuk menjaga kualitas dan menghadirkan menu MBG agar memenuhi standar gizi jadi komitmen penuh para relawan.
Makan bukan hanya perkara mengenyangkan perut semata. Kandungan nutrisi, higienitas makanan, dan kebersihan dalam penyajian jadi syarat penting.
HIGIENITAS TANPA KOMPROMI
Mata Joni Prasetya tak lepas mengawasi para pekerja di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Margomulyo, Seyegan, Yogyakarta, November lalu. Dengan saksama Kepala SPPG ini memantau semua sudut dapur, mulai dari sink, meja hingga tempat menata makanan.
Ia juga memastikan setiap sudut lantai SPPG bersih dan dipel saat kotor. Ruangan dan alat masak bersih kinclong bebas noda. Uji kesat pakai jari, ‘check!’
Menurutnya higienitas jadi bagian dari profesionalisme mereka dalam mengelola menu makanan bergizi gratis (MBG).
SPPG Margomulyo adalah satu dari ribuan dapur MBG yang mengutamakan kebersihan dan higienitas.
Di antara tempo kerja yang teratur, ada komitmen untuk menghadirkan santapan sehat bagi 3.755 anak-anak penerima manfaat. Kedisiplinan dan ketelitian menjadi kunci bagi SPPG yang terletak di wilayah Seyegan, Sleman, DIY ini.
Kendati skala produksinya besar, kualitas bahan yang digunakan serta kebersihan tempat maupun staf adalah prasyarat yang tidak bisa ditawar.
Melangkah masuk ke dapur SPPG Polri 2 Cipinang, Pondok Bambu terasa seperti memasuki pusat operasi kuliner berstandar internasional. Jauh dari kesan dapur publik yang sesak. Ruang ini begitu luas, tertata, dan dipenuhi peralatan stainless steel mengilap, yang menciptakan kesan higienis dan terkontrol.
Ini adalah jantung produksi program MBG, tempat ribuan porsi makanan diracik dengan dedikasi di tengah dapur luas dan fasilitas yang terstandardisasi.
Dapur ini dirancang dengan sangat fungsional, menekankan efisiensi pergerakan. Area kerja yang lapang menjamin pergerakan staf berlangsung tanpa hambatan. Garis produksi makanan tertata rapi, memisahkan area persiapan, memasak, dan penyajian.
Gambaran tentang betapa besarnya operasi harian SPPG dapat terbaca dari jumlah porsi yang diproduksi. Di SPPG Polri 2 Cipinang, hari itu dapur menyiapkan sekitar 3.598 porsi MBG untuk berbagai satuan pendidikan, mulai dari posyandu, PAUD-TK, hingga SMA–SMK.
KUNCI MENJAGA KUALITAS BAHAN PANGAN
Kualitas pangan produksi SPPG tidak cuma dikontrol di atas meja dapur, tapi semenjak pemilihan bahan mentah.
Joni mengklaim pasokan bahan pangan adalah hasil seleksi produk-produk top dari para petani dan pelaku usaha lokal yang koordinasinya dinakhodai Badan Usaha Milik Kalurahan Bersama (Bumkalma). Kolaborasi ini melahirkan ekosistem bisnis yang turut menggerakan perekonomian masyarakat.
SPPG Margomulyo cuma akan menggunakan bahan-bahan yang sudah mereka ketahui lokasi produksinya, serta telah diuji sendiri kelaikan gizi, rasa, dan daya tahannya. Tak perlu pusing harga sedikit lebih mahal, asalkan kualitasnya terjamin. Apalagi Badan Gizi Nasional (BGN) telah menetapkan standar pangan menggunakan bahan baku premium.
"Kami memang harus sedetail itu. Pemasok sekarang tahu kalau kualitas yang di bawah standar nggak akan diterima. Jadi yang disalurkan Bumkalma memang benar-benar terbaik. Auto-sortir," ungkapnya.
Baru-baru ini, SPPG Margomulyo melakukan retur terhadap pembelian 150 kilogram daging ayam. Musababnya, barang cacat. Relawan mendapati titik lebam pada sejumlah potong daging. Bahan waktu itu didapat dari pemasok pengganti karena force majeure.
Per kejadian itu, SPPG Margomulyo meminta Bumkalma untuk memutus kemitraan dengan supplier tersebut. Ini bukan kesalahan minor. Nyawa anak-anak penerima manfaat bisa jadi taruhannya.
Cerita yang sama juga terjadi di SPPG Polri 2 Cipinang. Mereka juga pernah menolak kiriman ayam busuk yang sudah berubah warna menjadi biru dan berbau menyengat. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga yang meningkatkan kewaspadaan.
Tak kalah krusial adalah penerapan prinsip first in first out (FIFO) alias masuk pertama keluar pertama. Prinsip ini menjamin kesegaran bahan baku dan mencegah penggunaan barang kedaluwarsa.
Untuk bahan makanan basah yang rentan, SPPG Polri 2 Cipinang dilengkapi dengan ruang chiller dan freezer berstandar. Ruang penyimpanan buah dan sayur, misalnya, diatur dengan suhu yang presisi, seperti tertera pada tabel suhu penyimpanan, bahan makanan yang harus disimpan di chiller wajib di suhu maksimal 4 derajat Celcius.
Sementara bahan makanan yang harus disimpan di freezer harus berada di suhu -18 derajat Celcius atau lebih rendah supaya tetap beku dan tidak rusak. Lalu untuk dry storage, bahan makanan kering disimpan dengan suhu tidak lebih dari 22 derajat Celcius supaya tidak lembap dan tidak mudah berjamur.
Standar suhu ini menjamin rantai dingin yang sempurna, mempertahankan kualitas nutrisi dan higienitas sayur, buah, dan bahan protein hingga siap diolah.
Proses harian di SPPG Cipinang dimulai dengan sebuah perencanaan yang matang dan ilmiah. Kunci dari penentuan menu berada di tangan ahli gizi. Setiap menu harian diumumkan secara transparan, lengkap dengan analisis kecukupan gizi yang terperinci.
Ahli gizi bertugas membuat siklus menu selama 5 hingga 10 hari dengan kadar gizi (AKG) yang ketat menyesuaikan petunjuk teknis (juknis) dari BGN. Uniknya, proses ini tidak berjalan satu arah. Setelah menu dibuat, terjadi diskusi bersama Kepala SPPG dan relawan.
Pembedaan menu juga dilakukan, misalnya untuk balita tidak diberikan mi, melainkan kentang kukus atau nasi tim yang lebih lembut, dengan AKG yang sama. Menu juga dibuat bervariasi agar anak-anak tidak bosan: dari ayam fillet semur, sate ayam, beef teriyaki, hingga ragam sayuran hijau dan buah segar.
Praktik serupa juga dilakukan di SPPG Margomulyo. Di lokasi ini, menu ini sudah terencana dalam 'bank menu' yang disusun sejak bulan sebelumnya oleh Ahli Gizi lulusan UGM, Nabila Astri bersama head chef di SPPG Margomulyo.
Selain memperhatikan standar gizi, perencanaan juga menimbang banjir 'request' siswa-siswi penerima MBG. Sekalipun permintaan macam seblak atau nugget mustahil dieksekusi demi menghindari ultra processed food (UPF).
Setelah menu disepakati, ahli gizi membuat spesifikasi teknis yang sangat rinci untuk setiap bahan baku. Misalnya, beras harus menggunakan beras premium, buah harus grade A, hingga detail potongan ayam karkas. “Jadi, spesifikasi kita harus lengkap kepada setiap supplier,” kata Kepala SPPG Polri 2 Cipinang Muhammad Afif Fayed.
Aktivitas memasak pun berlangsung intensif, dengan juru masak mengenakan seragam, penutup kepala atau hair net, celemek, masker, dan sarung tangan. Mereka bekerja sigap memasak depan kompor dan wajan-wajan besar.
Proses pengawasan saat memasak juga dilakukan oleh ahli gizi yang memeriksa tingkat kematangan bahan makanan. Pengecekan suhu memastikan tidak ada bagian ayam yang masih mentah di dalam.
Teknik penting lainnya adalah pendinginan sebelum porsi makanan dimasukkan ke dalam wadah (ompreng) agar tidak cepat basi. “Kalau misalnya ditaruh di ompreng panas-panas akan menghasilkan uap air. Nah, uap airnya itu bisa membuat makanan rentan basi,” ujar ahli gizi di SPPG Cipinang Shakarani Indraputri.
KONTROL BERLAPIS, JAMINAN AMAN SAMPAI KE ANAK
Sebelum distribusi, prosedur food safety di dapur SPPG dijamin melalui protokol pengujian yang sangat ketat. Makanan akan melewati uji organoleptik, pengecekan oleh Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri, dan dicoba langsung oleh tim.
Seorang petugas Kedokteran Kepolisian terlihat melakukan pengambilan sampel makanan harian. Ia dengan hati-hati memisahkan komponen menu ke dalam nampan tersekat, dikelilingi tabung-tabung reaksi layaknya laboratorium klinis.
“Sebelum makanan disediakan ke masing-masing sekolah yang akan dimakan penerima manfaat, itu semua dicek,” ungkap Afif.
Ibarat benteng pertahanan terakhir dalam kontrol kualitas, prosedur ini membuktikan makanan yang diproduksi tak cuma bergizi, tetapi juga teruji aman dari kontaminasi dan sesuai dengan protokol keamanan pangan terbaik.
Risiko keracunan adalah momok yang dihindari dapur SPPG dengan segala cara.
“Kami ketat di penerimaan. Karena kita takut (kejadian) keracunan ataupun KLB (kejadian luar biasa),” tegas Afif.
Komitmen pada mutu ini pun terbukti dengan kepemilikan dua sertifikat penting, yakni sertifikat halal dan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Proses mendapatkan SLHS diakui sangat susah dan memakan waktu berminggu-minggu, melibatkan inspeksi ketat dari Dinas Kesehatan dan puskesmas setempat, mencakup kelayakan dapur, tata letak, bahkan swab test pada air, alat, bahan baku, hingga kesehatan seluruh relawan.
Tahap akhir dari proses yang sempurna ini adalah distribusi. Di luar gedung, armada kendaraan khusus siap tancap gas mengantar tumpukan food tray ke sekolah-sekolah.
Mobil boks tertutup ini menjamin ribuan porsi makanan yang telah disiapkan secara higienis akan diangkut dalam kondisi terbaik, terlindungi dari faktor eksternal. Armada logistik ini adalah wajah bergerak program MBG, memastikan janji gizi sampai tepat waktu dan dalam kondisi prima.
Distribusi dimulai sekitar pukul 06.30 pagi, diprioritaskan untuk anak-anak TK, SD, dan balita di posyandu.
Pendistribusian makanan bukanlah titik akhir. Ada proses evaluasi yang masih dijalankan. Tim SPPG aktif mengumpulkan sisa makanan (food waste) dari sekolah untuk dievaluasi. Mereka menimbang dan memisahkan karbohidrat, protein, dan sayuran.
“Nanti kita lihat nih, kalau misalnya dari persentase food waste-nya itu banyak atau persentasenya tinggi, berarti menu itu kurang disukai,” kata sang ahli gizi Shakarani.
Evaluasi ini menghasilkan inovasi menu. Misalnya dengan mengganti nasi putih yang cepat membosankan dengan nasi kuning, yang ternyata selalu habis. SPPG juga menerima permintaan menu dari murid-murid, seperti pizza atau ayam geprek (dengan tingkat kepedasan yang diatur). Permintaan ini akan dituruti selama sesuai dengan nilai gizi dan kebutuhan usia.
Sisa makanan yang terkumpul tidak dibuang begitu saja, melainkan diberikan kepada peternak kambing dan ayam, menciptakan siklus ekonomi kerakyatan.
Menanggapi kritik yang muncul terkait KLB alias kasus keracunan di beberapa daerah, Afif memberikan perspektif sebagai praktisi di lapangan. Ia mengaku rutin mengunjungi sekolah-sekolah untuk mencari semangat, dan ia menyaksikan langsung dampak positif MBG.
“Adanya MBG ini, ada anak sekolah yang di rumahnya enggak makan jadi makan. Terus ada juga yang di rumahnya cuma punya kakek-nenek, enggak punya ibu, karena ada MBG jadi makan,” kata Afif.
Di tengah isu-isu KLB atau kekhawatiran orang tua, Kepala Dapur SPPG Pulo Gebang 2 Malinda Destri Yanti meminta publik untuk tetap tenang dan mengecek langsung kenyataan di lapangan. “Sebisa mungkin dicoba dulu. Orang tua pada percaya sama program-program ini,” ujarnya.
Ia menegaskan setiap keluhan dapat dipertanggungjawabkan. Orang tua maupun sekolah boleh langsung datang ke dapur jika merasa ada yang janggal. “Alhamdulillah, contohnya di dapur saya sendiri belum ada yang kejadian itu dan saya berkomitmen untuk tidak mau mengecewakan. Jadi jangan terlalu termakan berita negatif.”






























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5246935/original/037886700_1749495798-063_2211629707.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5354665/original/013548500_1758261702-IMG-20250919-WA0005.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5326205/original/048148200_1756092105-IMG-20250825-WA0011.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5354825/original/018518100_1758265848-pongki_barata_csm_3.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5316299/original/029464000_1755231410-OFFICIAL_POSTER_-_FEED.jpg)
