Resah UMKM Beralih Jadi Penjual Barang Impor China, Maman Harus Apa?

1 hour ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Fenomena pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) banting setir menjadi penjual barang impor China membuat Menteri UMKM Maman Abdurrahman resah.

Maman menilai fenomena itu terjadi lantaran banjirnya produk impor. Imbasnya, penyerapan tenaga kerja di Indonesia tidak signifikan dibandingkan saat UMKM menjual produk hasil sendiri.

"Jadi, dia (UMKM) beli barang-barang itu di China, ya sudah dia hanya pasarkan saja di sini," kata Maman dalam BIG Conference 2025 di Hotel Raffles Jakarta, Senin (8/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang ditargetkan kepada Kementerian UMKM harus dinaikkan sektor produksinya supaya ekonomi di daerah lebih bergerak daripada hanya sekadar menjadi trading ataupun konsumen. Nah, ini mau kita jaga jangan sampai Indonesia ke depan hanya sebagai pasar saja," jelasnya.

Politikus Partai Golkar itu menjelaskan penyerapan dari sektor UMKM sejatinya menyumbang 90 persen hingga 95 persen dari total tenaga kerja nasional. Akibat dari banyaknya usaha wong cilik yang beralih menjual barang impor, ekonomi Indonesia diklaim tak bergerak.

Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras mengatakan barang impor dari China memang relatif lebih murah. Terlebih, pelemahan daya beli membuat konsumen cenderung membeli barang dengan harga terjangkau.

Izzudin menyebut UMKM saat ini tidak lagi fokus memproduksi barang sendiri karena tiga alasan.

Pertama, harga input produksi sudah tinggi. Hal tersebut imbas mahalnya biaya logistik, skala produksi kecil yang membuat tidak tercapainya economies of scale, serta bahan baku tak selalu tersedia di pasar domestik.

"Kedua, biaya modal awal relatif lebih rendah untuk berdagang ketimbang memproduksi sendiri barang dari dalam negeri. Misalnya, biaya modal awal untuk mesin, SDM (sumber daya manusia), bahan baku, dan sertifikasi," kata Izzudin kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/12).

"Terlebih, peralatan produksi modern memiliki harga yang relatif mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian UMKM. Implikasinya, margin keuntungan lebih mudah dan lebih cepat didapatkan dengan cara berdagang," tuturnya.

Ketiga, perubahan perilaku konsumen yang cepat dan sensitif harga melahirkan tantangan bagi UMKM untuk memproduksi barang sendiri. Izzudin menjelaskan produk impor dari China juga lebih mudah beradaptasi dengan variasi desain, model, dan fitur pada barang yang dijual di marketplace.

Praktik penjualan barang impor, menurut Izzudin, secara terus-menerus membuat UMKM lokal mati dan Indonesia sekadar jadi pasar konsumen. Seharusnya, Indonesia butuh lebih banyak pengusaha untuk menjadi negara maju pada 2045 mendatang.

"Oleh karena itu, fokus utama pemerintah adalah melakukan reindustrialisasi. Pemerintah harus meningkatkan keterkaitan antara UMKM dengan usaha besar sehingga terdapat transfer pengetahuan agar UMKM naik kelas, insentif bagi komunitas yang menyelenggarakan pelatihan UMKM di berbagai daerah, mengevaluasi kebijakan perpajakan untuk UMKM dan usaha besar agar lebih sinkron," tuturnya.

Izzudin mendorong adanya perlindungan terhadap dumping barang impor. Pemerintah juga diminta memastikan Indonesia tak lagi sekadar mengekspor produk mentah, melainkan sanggup mengekspor produk setengah jadi atau produk jadi.

Kebijakan Longgar dan Ancaman Jadi Bangsa Konsumen

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan akar masalahnya adalah kebijakan pemerintah yang terlalu melonggarkan masuknya barang impor. Pada akhirnya, hal tersebut membuat harga barang impor lebih murah.

"Permintaan barang impor tidak mampu dibendung, mengalir deras termasuk barang yang sebenarnya bisa diproduksi dalam negeri," kritik Huda.

Di lain sisi, Huda mengatakan masyarakat Indonesia masih berorientasi pada harga (price oriented consumer), sehingga harga sebagai faktor utama dalam setiap pembelian.

Sementara para pedagang, termasuk UMKM, sama seperti pengusaha pada umumnya mencari barang dengan permintaan tinggi dan mencari cuan.

"Dengan permintaan barang impor tinggi, maka pedagang akan mempunyai inisiatif untuk menjual barang impor ketimbang barang lokal. Apalagi, memproduksi barang sendiri yang tentu butuh modal besar," tuturnya.

"Jika tidak dilindungi dari ancaman barang impor, ya UMKM produsen akan rugi lebih tinggi. Jika terus dibiarkan, ya bangsa kita hanya menjadi konsumen," wanti-wanti Huda.

[Gambas:Video CNN]

(pta)

Read Entire Article
Entertainment |