Trump Klaim Gaza Damai usai Mediasi Gencatan Israel-Hamas, Benarkah?

3 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Amerika Serikat Donald Trump terus mendeklarasikan bahwa konflik Israel-Hamas Palestina telah berakhir.

Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa perang Israel vs kelompok milisi Hamas di Jalur Gaza sudah selesai. Salah satu pernyataan itu disampaikan di hadapan parlemen Israel Knesset pada Senin (13/10), beberapa jam sebelum ia menuju Mesir untuk memimpin Gaza Peace Summit.

"Setelah bertahun-tahun perang tanpa henti dan bahaya yang tak berkesudahan, hari ini langit tenang, senjata-senjata sunyi, sirene tak bersuara, dan matahari terbit di Tanah Suci yang akhirnya damai. Tanah dan wilayah yang akan hidup, atas kehendak Tuhan, dalam damai selamanya," ucap Trump.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini bukan hanya akhir dari sebuah perang, ini adalah akhir dari era teror dan kematian, serta awal dari era iman, harapan, dan Tuhan. Ini adalah awal dari sebuah kerukunan agung yang harmoni abadi bagi Israel dan semua banga di wilayah yang akan segera menjadi luar biasa," lanjut Trump, seperti dikutip ABC News.

Meski terus mengulangi hal ini, pada kenyataannya pandangan Trump tak sejalan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Pada Minggu (12/10), Netanyahu menegaskan agresi militer di Gaza belum berakhir. Saat di Knesset bersama Trump, Netanyahu juga hanya mengatakan bahwa dirinya "berkomitmen pada perdamaian".

Nahlah Ayed, mantan koresponden Timur Tengah yang kini jadi pembawa acara CBC Ideas, mengatakan bahwa situasi konflik Israel-Palestina saat ini merupakan contoh dari negative peace atau perdamaian negatif. Ini adalah kondisi ketika tak ada kekerasan dalam suatu konflik.

Gencatan senjata memang merupakan negative peace karena kekerasan dan penindasan yang terjadi berhenti sementara. Kondisi ini berbeda dengan positive peace atau perdamaian positif, di mana ada pemulihan hubungan, penciptaan sistem sosial yang melayani kebutuhan penduduk, serta penyelesaian konflik secara konstruktif.

"Meskipun Trump menyatakan 'zaman keemasan Timur Tengah', kesepakatan yang ditengahinya adalah contoh klasik dari 'negative peace' yang dinegosiasikan, yaitu tidak ada kekerasan, tanpa mengatasi masalah mendasarnya," kata Ayed, seperti dikutip CBC.

Ayed berujar meskipun kesepakatan Trump hanya mengakhiri satu episode kekerasan yang mengerikan dan menyakitkan di Timur Tengah, konflik Israel-Palestina yang sebenarnya masih belum terselesaikan.

"Kesepakatan damai tersebut tidak membahas gejala-gejala lain dari konflik yang telah berlangsung puluhan tahun tersebut. Gejala-gejala tersebut termasuk meluasnya permukiman Israel di Tepi Barat, bagian penting wilayah ingin didirikan oleh Palestina sebagai negara," ucapnya.

Sejumlah pemimpin dunia baru-baru ini mengakui negara Palestina. Beberapa pemimpin dunia juga hadir dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) untuk membahas soal perdamaian di Gaza.

Menurut Ayed, KTT ini menandakan bahwa para pemimpin memandang kesepakatan ini sebagai langkah menuju pendirian negara Palestina serta menuju perdamaian yang lebih komprehensif dan langgeng. Namun, ia sangsi bahwa Netanyahu, bahkan AS sendiri, berpikiran sama soal ini.

"Tetapi Netanyahu telah berulang kali menyuarakan penolakannya terhadap ide pendirian negara Palestina dan AS juga belum bergerak untuk mengakuinya," tukas Ayed.

Anggota parlemen dari Partai Demokrat Liberal sekaligus satu-satunya keturunan Palestina di parlemen Inggris, Layla Moran, juga mengutarakan pandangan serupa.

Saat bicara kepada Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Moran mengaku menyambut baik langkah London mengakui kemerdekaan Palestina. Kendati demikian, ia mewanti-wanti bahwa hal itu tetap merupakan "janji kosong" tanpa adanya pembentukan negara Palestina yang sebenar-benarnya.

Starmer sendiri menanggapi ucapan Moran dengan berjanji untuk melanjutkan hal-hal yang memang harus dilakukan.

"Saya berkomitmen secara pribadi bahwa kami akan bekerja tanpa lelah untuk memastikan bahwa kali ini kami akan melanjutkan penandatanganan perjanjian melalui semua pekerjaan yang memang harus diselesaikan," ucap Starmer.

Pada 29 September lalu, Trump menyodorkan proposal damai untuk Jalur Gaza. Isinya, 20 poin yang mencakup pertukaran sandera, pemulangan jenazah, masuknya seluruh bantuan kemanusiaan ke Gaza, pelucutan senjata Hamas, hingga pembentukan komite pemerintahan Gaza tanpa keterlibatan Hamas, serta dewan pengawas komite yang dikepalai oleh Trump.

Mulanya, Hamas menyatakan ada beberapa hal yang harus didiskusikan soal proposal damai Trump. Namun demikian, Hamas tetap menyetujuinya karena desakan kuat dari AS dan negara-negara lain.

Israel sementara itu dikabarkan tak neko-neko dengan proposal tersebut.

Trump pada Rabu (8/10) lantas mengumumkan bahwa Israel dan Hamas sepakat gencatan senjata. Penghentian perang itu secara resmi dimulai pada Jumat (10/10).

Kedua pihak kini dalam fase satu gencatan senjata. Namun, belum diketahui apakah fase satu ini dapat berjalan lancar dan bisa lanjut hingga ke tahap-tahap berikutnya.

(blq/dna)

Read Entire Article
Entertainment |