Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, istilah self-healing kini semakin populer—terutama di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan sosial. Banyak orang mulai menyadari pentingnya kembali kepada diri sendiri, mengenali luka lama, dan mencari cara untuk pulih dengan caranya sendiri. Namun, dalam praktiknya, proses ini tak selalu mudah—terutama bagi mereka yang terlalu lama hidup demi memenuhi ekspektasi orang lain.
Di titik inilah, otentisitas menjadi kata kunci—keberanian untuk jujur pada diri sendiri, dan berhenti menjadi versi yang disukai semua orang, tapi menguras habis siapa kita sebenarnya. Netflix, lewat film orisinal terbarunya berjudul A Normal Woman, mengangkat isu-isu tersebut dalam kisah yang emosional dan penuh refleksi. Disutradarai oleh Lucky Kuswandi yang ditulis bersama Andri Cung, film ini memperkenalkan karakter Milla—seorang sosialita yang perlahan menyadari bahwa hidupnya tidak benar-benar “normal”.
Saat tubuhnya mulai memberi tanda lewat kondisi misterius yang tak bisa dijelaskan secara medis, Milla dipaksa menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar tentang dirinya: siapa dia sebenarnya, dan apakah selama ini ia hidup sebagai dirinya sendiri atau hanya menjalankan peran? Film ini resmi diperkenalkan dalam press conference dan special screening di Plaza Senayan XXI, Jakarta, pada Rabu (23/07/2025) lalu.
Para pemain dan filmmakers turut hadir untuk berbagi kisah di balik proses kreatif dan makna personal yang mereka rasakan selama menggarap film ini. Mulai 24 Juli 2025, A Normal Woman bisa disaksikan di Netflix, dan menjadi salah satu tayangan lokal yang menawarkan lebih dari sekadar hiburan—melainkan juga sebuah ajakan untuk kembali mengenal diri sendiri dengan jujur dan penuh keberanian.
Gagasan Film: Tentang Healing dan Alarm dari Tubuh
Dalam acara press conference tersebut, Lucky Kuswandi menjelaskan bahwa A Normal Woman terinspirasi dari keresahannya terhadap kehidupan yang tampak baik-baik saja di permukaan, tetapi menyimpan tekanan batin di dalamnya, “Di saat ini, yang paling cerdas adalah tubuh kita, yang kemudian memberi alarm bahwa sepertinya ada yang tidak normal dengan cara kita menjalani hidup,” ujarnya. Alarm itu, menurutnya, bisa muncul dalam bentuk penyakit fisik atau gejala emosional yang selama ini diabaikan.
Penulis naskah Andri Cung menambahkan bahwa film ini juga lahir dari diskusi dan pengamatan mereka terhadap dinamika masyarakat modern. “Kami berpikir bahwa kita sedang hidup di masyarakat dan dunia yang tidak baik-baik saja,” ucapnya. Ia menyoroti bagaimana orang berlomba-lomba tampil sempurna dan membuat orang lain terkesan, sehingga lupa pada kebutuhan diri sendiri.
“Namun di film ini kami tidak ingin mengantagonisasi siapa pun, karena semua orang punya alasan dan menghadapi tekanan tertentu, sehingga semua tindakan memiliki akarnya masing-masing.” lanjutnya.
Melalui kisah Milla, penonton diajak untuk mempertanyakan ulang standar “normal” yang selama ini diterima begitu saja. Apakah kita sungguh menjalani hidup yang sesuai dengan nilai-nilai kita, atau sekadar menyesuaikan diri agar diterima?
Perjalanan Milla Menemukan Otentisitas
Sebagai pemeran Milla, Marissa Anita mengaku banyak belajar dari karakter yang ia mainkan, “Setelah menjalani dan hidup bersama Milla sebelum dan selama syuting, dia mengajarkan saya tentang pentingnya otentisitas,” tuturnya. Menurutnya, Milla adalah gambaran banyak perempuan yang memberikan seluruh dirinya untuk orang lain—sebagai istri, anak, ibu, atau profesional—tanpa menyisakan ruang untuk diri sendiri.
“Memberi diri kita ke orang lain tapi juga memberi ke diri sendiri adalah yang paling ideal,” tambahnya. Marissa menjelaskan bahwa karakter Milla adalah bentuk ekstrem dari people pleaser, seseorang yang terus menerus berusaha mencocokkan diri agar dicintai. Ia membangun karakter ini dari hasil diskusi dengan sutradara dan membaca buku The Myth of Normal karya Gabor Maté dan Daniel Maté.
“Selama ini Milla tidak diterima apa adanya, dia harus membentuk dirinya untuk dicintai orang lain,” jelas Marissa. Film ini pun menjadi refleksi bagi siapa pun yang pernah kehilangan diri sendiri demi ekspektasi orang lain. Dalam banyak hal, perjuangan Milla terasa sangat dekat dengan kehidupan nyata perempuan masa kini.
Dinamika Keluarga dan Karakter yang Manusiawi
Selain Marissa, film ini juga dibintangi oleh Dion Wiyoko, Gisella Anastasia, Widyawati, Mima Shafa, dan Maya Hasan. Gisella mengungkapkan bahwa karakter Erika yang ia mainkan berada di ranah “abu-abu”, “Kalau terkesan jahat, pasti mereka punya alasannya,” katanya. Ia merasa banyak belajar untuk tidak menghakimi, karena setiap orang punya latar belakang dan luka masing-masing.
Widyawati memerankan Liliana, ibu mertua dari Milla yang dominan. Ia menjelaskan, “Sang anak benar-benar taat dan takut karena dia harus mematuhi apa kata ibunya, sementara belum tentu semua ibu atau apa yang dia lakukan benar.” Baginya, dalam pernikahan idealnya dua keluarga menjadi satu, dan menantu harus diperlakukan seperti anak sendiri.
Sementara itu, Mima Shafa memerankan Angel, seorang anak muda yang mampu memahami ibunya namun juga cukup berani untuk memutus rantai trauma keluarga. “Yang saya lakukan juga di hidup nyata adalah kita harus memotong trauma lintas generasi di keluarga,” katanya. Angel menjadi simbol dari generasi baru yang lebih sadar akan pentingnya batas dan kesehatan emosional.
Maya Hasan, yang memerankan ibu kandung Milla, Novi, menggambarkan karakternya sebagai daftar what not to do untuk seorang ibu. Ia menyampaikan pesan penting bahwa anak bukanlah investasi, bukan pula untuk dieksploitasi—melainkan sebuah amanah. Menurutnya, cinta dalam keluarga seharusnya tidak bersifat transaksional, tapi bersifat tanpa syarat.
A Normal Woman menghadirkan drama emosional dengan visual yang memikat dan nuansa yang intens. Namun yang membuat film ini menonjol adalah keberaniannya mengangkat tema-tema yang jarang dibicarakan secara terbuka—mulai trauma keluarga, luka batin, tekanan sosial, dan kehilangan otentisitas.
Seperti yang disampaikan Lucky Kuswandi, “Kami ingin memberikan sesuatu yang dapat menciptakan conversation. Tidak semua penonton harus setuju pada apa yang kami tawarkan, tapi semoga ini menjadi bahan untuk lebih mempertanyakan bagaimana kita menjalani hidup saat ini.” tutupnya pada sesi press conference ‘A Normal Woman’, Rabu (23/07/2025).
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.